عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” HR. Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), dan Abû Dâwud (no. 4797)
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.
Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr.
Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut.
Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang.
Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq ‘alaihi]
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.”
Malu Adalah Cabang Keimanan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676)
Allah Azza Wa Jalla Cinta Kepada Orang-Orang Yang Malu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.” HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la.
Malu Sebagai Pencegah Pemiliknya Dari Melakukan Maksiat
Ada salah seorang sahabat radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.” HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118)
Orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.
Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” HR.al-Hâkim (I/22). (*)
Penulis: AJANG KUSMANA S.Ag, MAg, dosen Universitas Muhammadiyah Malang