Seperti karya buku hasil riset Prof. Haedar Nashir (Ketum PP Muhammadiyah), Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia (2013), di antarnya mengkaji tentang pandangan dunia (worldview) gerakan Islam Syariat (HTI, MMI, KPPSI) yang cenderung serba syariat.
Syariat ditempatkan sebagai ajaran utama yang penerapannya melalui pelembagaan formal dalam institusi negara (formalisasi syariat Islam) hingga pembentukan negara Islam (khilafah islamiyah).
Karena pandangan dunia yang serba syariat, maka gerakan Islam syariat tampil serba doktriner dan serbakaku (rigid). Logika mereka dibangun atas prinsip al-ahkam al-khamsah (lima prinsip hukum Islam), yakni wajib, haram, mubah, sunah, dan makruh.
Dunia yang begitu kompleks dikonstruksi serba normatif dan baku dalam sistem berpikir fikih abad pertengahan. Akibatnya, melahirkan fanatisme. Bahwa menegakkan syariat Islam secara formal termasuk dalam institusi negara adalah soal hidup dan mati sebagaimana perintah jihad dalam Islam (IBTimes.ID, Islam Syariat Menurut Haedar Nashir).
Saya juga melakukan riset yang kemudian dibukukan berjudul The Clash of Ideologi Muhammadiyah: Pertarungan Ideologi Moderat vs Radikal (2017). Riset ini mengungkap fenomena persinggungan ideologi aktivis Muhammadiyah ke gerakan FPI. Di mana, mereka merasa dakwah “nahi mungkar” Muhammadiyah kurang tegas dan lugas, terlalu pasif, bahkan apatis terhadap kemaksiatan, berbeda dengan FPI.
Hemat saya, kritik tersebut kurang pas, sebab strategi dakwah nahi munkar Muhammadiyah lebih berorientasi jangka panjang yaitu perubahan terhadap kesadaran diri melalui proses pendidikan.
Proses Salafisasi global tersebut cenderung berdampak kepada terjadinya proses pergeseran paham ideologi dan tradisi sosial keagamaan pada jamaah Muhammadiyah di lapangan.
Paling tidak, terpotret ada tiga pola baru tradisi sosial keagamaan baru yang sedang tarik menarik merebutkan ideologi dan tradisi sosial jamaah Muhammadiyah, yaitu Muhammadiyah rasa HTI (MuHTI), Muhammadiyah rasa FPI (MuFI), dan Muhammadiyah rasa Salafi (MuSA).
Gempuran salafisasi tersebut menurut Prof Martin disebabkan oleh pemanfaatan media informasi secara maksimal dalam pola komunikasi dan pengorganisasian dakwah gerakan Salafi di masyarakat. Seperti pemanfaatan secara masif media sosial (medsos) Whatsapp (WA), Twitter, Instagram, dan YouTube.
Sementara, organisasi keagamaan arus utama belum begitu memaksimalkan media informasi sebagai alat komunikasi dan pengorganisasian dakwah. Sehingga, cenderung gagap dalam menghadapi perubahan pola dakwah baru di masyarakat yang sudah berubah pola relasi dan komunikasinya, akibat dari pengaruh teknologi informasi (internet).