Suatu ketika, ada seseorang bertanya kepada saya. Pertanyaan serius, soal ketakwaan. Intinya, dia mengaku sudah melakukan puasa Ramadan dengan penuh ikhlas dan sempurna. Menjalankan banyak amalan seperti yang disyariatkan Alquran dan Sunah.
Namun, dia bilang, mengapa setelah Ramadan merasa biasa-biasa saja?Tidak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Kebiasaan yang dia lakukan pada bulan Ramadan seolah sirna. Tak berbekas. Kembali lagi kepada kebiasaan semula.
Didera perasaan itu, dia pun bingung. Sebab yang dia tahu, tujuan puasa itu sebagaimana termaktub dalam surat al Baqarah ayat 183, adalah menjadikan manusia yang bertakwa, laallakum tattaqun.
Bagi saya, pertanyaan ini sungguh menggelitik. Menjadi sebuah kesadaran profetik yang membuat dia menginsyafi diri. Berintrospeksi terhadap apa yang dia lakukan. Setidaknya keinginan untuk mengerek derajat ketakwaannya.
Perasaan biasa-biasa saja selepas Ramadan ini bisa jadi banyak dirasakan orang. Hanya kita jarang mengevaluasi. Setiap tahun kita diberi kesempatan bertemu bulan Ramadan, tapi hasilnya ya begini-begini saja.
Apakah puasa Ramadan yang kita lakukan selama ini sudah mengantarkan kita kepada derajat kesuksesan?
Tentu tak mudah menjawabnya. Sama halnya kita diberi alat yang super canggih, tapi kita tidak dapat menggunakannya dengan baik.
Ada adagium Arab, kun robbanian wala takun ramadhaniyyan (jadilah kalian hamba-hamba Allah yang Rabbani, bukan menjadi hamba-hamba bulan Syaban atau Ramadan).
Pepatah tersebut hakikatnya mengajak kita untuk selalu berbuat baik di mana pun dan kapan pun. Tidak cuma pada bulan Ramadan.
Setelah Ramadan berlalu, maka kegiatan baik juga ikut berlalu. Kesannya kegiatan mulia hanya menjadi kegiatan rutinitas tahunan yang tidak membekas.
Untuk meraih ketakwaan yang sesungguhnya memerlukan latihan rutin dan sungguh-sungguh. Bak orang belajar mengemudi mobil atau motor, pelatih mengajarinya teknik berkendara dan berlalu lintas dengan benar sesuai aturan yang ditetapkan.
Hingga akhirnya betul-betul paham, baru setelah itu mendapat Surat Ijin Mengemudi (SIM). Selama belum bisa, maka akan dilatih terus sampai bisa dan si pembelajar tersebut akan memaksa dirinya untuk bisa.
Kesulitan dan rintangan pun dihadapi dengan semangat sampai akhirnya si pelatih mengakui bahwa si pembelajar tersebut mahir dan layak untuk mendapat SIM.
Begitu juga halnya dengan ketakwaan, kita harus berlatih sebaik mungkin dan diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Allah SWT menyiapkan bulan Ramadan untuk melatih orang-orang beriman menjadi insan-insan yang bertakwa.
Untuk meraih ketakwaan butuh kerja keras, karena kita akan dihadapkan dengan bermacam-macam ujian hidup.
Di bulan Ramadan kita dilatih menjadi hamba yang sebenarnya, mulai dari puasa, qiyamul lail, tadarus, salat berjamaah di masjid, sedekah, dan karakter mulia. Kita dilatih tiga aspek, yaitu spiritual, emosional, dan sosial.
Hal ini sebagaimana termaktub di dalam surat Ali Imran ayat 134-135:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134) وَالَّذِينَ إِذا فَعَلُوا فاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. (QS. Ali Imran Ayat 134-135)
Ayat di atas memaparkan ciri-ciri orang bertakwa. Pertama, kesalehan sosial. Dia mempunyai kepedulian sosial, gemar berinfak, bersedekah dan lainnya.
Dalam situasi dan kondisi apa pun. Tidak harus menunggu bulan baik atau hari baik. Bahkan tidak harus menunggu hartanya menumpuk.
Kedua, kesalehan emosional. Dia mempunyai karakter profetik, semisal dapat menahan amarah, pemaaf, sabar, syukur, dan ikhlas.
Mempraktikkan karakter-karakter tersebut amat sulit di lapangan tanpa adanya pemaksaan diri. Karena faktanya tak mudah meredam perasaan amarah, balas dendam, dan lain sebagainya.
Ketiga, kesalehan spiritual. Salatnya, puasanya, dan ibadah-ibadah lainnya mengalami perubahan ke arah lebih baik. Terutama dari sisi kualitasnya dan keajekannya. (*)