Cerita inspiratif datang dari Susilawati, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) yang hari ini resmi diwisuda.
Perjalanan untuk meraih gelar dokter bukanlah hal yang mudah, terutama mengingat tantangan akademis yang berat dan biaya pendidikan yang mahal.
Sejak kecil, Susilawati telah bercita-cita menjadi seorang dokter. Cita-cita ini tumbuh dari keprihatinannya melihat kondisi di desanya, Dusun Mungguk, Desa Tirtanadi, Kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), di mana akses ke rumah sakit jauh dan klinik kesehatan sangat terbatas.
“Dulu, ketika saya masih kecil, saya merasa kasihan melihat orang-orang yang kesulitan mendapatkan perawatan. Sejak saat itu, saya ingin menjadi dokter agar bisa membantu warga sini,” ujar Susilawati.
Cita-cita Susi ini didukung penuh oleh kedua orang tuanya, meskipun keadaan ekonomi keluarga yang sederhana membuat mereka sulit untuk langsung membiayai pendidikan kedokterannya. Setelah lulus dari SMA, Susi melanjutkan studi di D3 Farmasi di Yogyakarta, karena saat itu biaya untuk kuliah di Fakultas Kedokteran masih belum terjangkau.
“Waktu itu, sebenarnya saya dan bapak ingin saya kuliah di fakultas kedokteran, tapi uangnya belum cukup, akhirnya saya mengambil jurusan farmasi. Alhamdulillah, saya bisa lulus,” tambahnya.
Namun, sebuah berkah datang setelah panen jagung yang melimpah. Dari hasil panen tersebut, orang tua Susi dapat menyokongnya melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran UM Surabaya. Susi pun akhirnya diterima di program S1 Pendidikan Dokter di UM Surabaya.
“Dulu saat pandemi COVID-19, UM Surabaya juga memberikan potongan biaya sebesar 14 juta rupiah. Alhamdulillah, itu sangat meringankan beban bapak dan ibu,” kata Susi.
Selain bertani jagung, ayah Susi juga pernah menjadi kusir becak. Susi merupakan sarjana pertama di keluarganya, sementara adiknya saat ini masih menempuh studi Radiologi di Yogyakarta.
Perjalanan Susi untuk meraih gelar dokter tidaklah mudah. Beberapa kali ia mengalami kesulitan dalam hal biaya. Ketika belum panen, orang tuanya harus meminjam uang terlebih dahulu untuk membayar biaya kuliah.
“Kalau belum panen, biasanya pinjam dulu. Nanti setelah panen baru dibayar sama bapak,” ujar Susi.
Dalam setahun, sawah ayahnya dapat menghasilkan 2-3 kali panen, dan dari hasil panen itulah biaya kuliah Susi dan adiknya ditopang.
“Saya tahu perjuangan bapak sangat berat. Cita-cita bapak sangat mulia, dan saya tidak ingin mengecewakan. Saya akan memberikan yang terbaik,” ungkapnya.
Susi mengaku, baru pada awal Agustus ini biaya pendidikannya di UM Surabaya bisa dilunasi. Dengan lunasnya biaya pendidikan tersebut, orang tuanya merasa sangat bersyukur.
Setelah lulus, Susi berencana kembali ke desanya dan mengabdikan dirinya di sana. Ia ingin membangun klinik kesehatan agar masyarakat lebih mudah mendapatkan perawatan medis.
“Mohon doanya, semoga saya bisa menjadi dokter yang amanah, profesional, dan bermanfaat bagi banyak orang,” pungkasnya. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News