*) Oleh: Dr. Anwar Hariyono,
Wakil Rektor Sumber Daya Universitas Muhammadiyah Gresik
Dalam lanskap bisnis yang terus berkembang, pendekatan “dismantle” atau pembongkaran struktur perusahaan mulai mendapatkan perhatian sebagai strategi reformasi tata kelola yang berani dan kontroversial.
Metode ini menawarkan restrukturisasi menyeluruh dengan tujuan mengatasi masalah sistemik dalam tata kelola korporasi.
Meskipun menjanjikan perbaikan signifikan, pendekatan ini juga membawa sejumlah tantangan yang memerlukan evaluasi mendalam.
Kebutuhan akan strategi “dismantle” sering muncul ketika metode konvensional gagal mengatasi masalah serius dalam perusahaan, seperti manipulasi keuangan, konflik kepentingan yang berkepanjangan, manajemen risiko yang lemah, atau struktur organisasi yang kaku.
Kasus besar seperti Enron dan Lehman Brothers menunjukkan dampak buruk dari tata kelola yang gagal, tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri tetapi juga bagi sektor industri dan perekonomian global.
Namun, penting untuk dipahami bahwa “dismantle” bukan sekadar menghancurkan total struktur yang ada.
Tujuannya adalah menggantikan elemen-elemen yang tidak efektif, seperti merombak dewan direksi, memisahkan unit bisnis yang tumpang tindih, atau memperbarui sistem manajemen risiko.
Selain itu, penyederhanaan struktur manajerial bertujuan menciptakan organisasi yang lebih transparan, responsif, dan siap beradaptasi dengan perubahan pasar serta kebutuhan pemangku kepentingan.
Tentu saja, strategi ini tidak lepas dari tantangan. Potensi gangguan stabilitas jangka pendek, resistensi dari karyawan dan manajemen, penurunan moral, hingga risiko kehilangan keunggulan kompetitif menjadi beberapa hal yang harus diantisipasi.
Namun, jika diterapkan secara hati-hati dan terencana, “dismantle” dapat menjadi katalis bagi transformasi yang berkelanjutan dan kuat.
Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan serta transparansi dalam setiap tahapannya.
Lebih dari itu, pendekatan ini membuka peluang untuk inovasi dan adaptasi, yang penting dalam menghadapi tantangan ESG (Environmental, Social, and Governance) serta revolusi teknologi yang semakin cepat.
Kesimpulannya, strategi “dismantle” menawarkan potensi besar untuk memperbaiki tata kelola perusahaan, meskipun penuh risiko.
Dengan perencanaan yang matang, keterlibatan pemangku kepentingan, dan visi jangka panjang, perusahaan dapat menggunakan strategi ini untuk membangun kembali fondasi yang lebih sehat, lebih berkelanjutan, dan siap menghadapi kompleksitas dunia bisnis modern. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News