Wewangian telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Namun, dalam Islam, beberapa hadis mengaitkan penggunaan parfum oleh perempuan dengan larangan yang cukup tegas, bahkan menggunakan ungkapan metaforis seperti “pezina.”
Apakah pemahaman ini harus diartikan secara harfiah?
Hadis yang kerap menjadi rujukan adalah riwayat dari Al-Asy’ari, di mana Rasulullah SAW bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Perempuan mana saja yang memakai minyak wangi kemudian melintas pada suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah pezina.” (HR. An-Nasa’i)
Hadis ini diperkuat oleh riwayat lain dengan redaksi serupa, seperti dari Abu Hurairah yang melarang perempuan berparfum. Rasulullah saw bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ
“Siapa pun wanita yang memakai parfum, maka janganlah dia hadir bersama kami dalam salat Isya yang akhir.” (HR. Muslim)
Menurut Ruslan Fariadi, Ketua Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, hadis-hadis tersebut memiliki sanad yang valid, ditransmisikan oleh ulama kredibel seperti An-Nasa’i, At-Tirmidzi, dan Muslim.
Namun, memahami validitas hadis saja tidak cukup. Isi atau matan hadis memerlukan telaah mendalam agar sesuai dengan penerapan di kehidupan modern.
Frasa “pezina” dalam hadis ini sering dianggap metafora (kinayah), bukan bermakna harfiah.
Mayoritas ulama memahaminya sebagai peringatan terhadap tindakan yang mendekati dosa besar seperti zina, terutama jika ada motif tertentu, misalnya memamerkan aroma parfum untuk menarik perhatian lawan jenis.
Ini sejalan dengan hadis lain yang menyatakan: “Setiap mata (berpotensi) berzina.” (HR. At-Tirmidzi)
Motif menjadi kunci dalam memahami larangan ini. Frasa “melintas pada suatu kaum agar mereka mencium baunya” menunjukkan adanya unsur kesengajaan untuk menarik perhatian.
Jika parfum digunakan tanpa motif menggoda, apalagi dalam konteks yang terhormat seperti menjaga kebersihan dan keharuman tubuh di depan keluarga, penggunaannya justru dianjurkan.
Konsep ‘illat hukum (sebab hukum) juga penting. Dalam konteks sosial masa Nabi, seperti jalanan yang gelap saat salat isya, perempuan lebih rentan terhadap bahaya. Larangan ini dapat dipahami sebagai langkah protektif.
Secara kontekstual, nasihat ini mirip dengan anjuran agar perempuan menghindari pakaian mencolok di tempat rawan demi keamanan.
Keseimbangan dalam Penggunaan
Dengan tafsiran yang luas, larangan ini tidak bersifat mutlak. Dalam ruang privat, seperti untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, penggunaan parfum bahkan menjadi sunnah.
Di ruang publik, penggunaannya tetap harus mempertimbangkan batasan agar tidak menimbulkan fitnah atau salah persepsi.
Kesimpulan
Larangan Nabi Muhammad saw terhadap parfum bagi perempuan bersifat kondisional, bukan absolut. Islam mendorong kesopanan dalam berpenampilan, termasuk penggunaan wewangian.
Dengan pemahaman kontekstual, umat Islam dapat menjalankan ajaran Nabi secara relevan dengan situasi dan realitas modern.
Sebab, esensi Islam adalah hikmah, keseimbangan, dan kemaslahatan.
Referensi:
Ruslan Fariadi, “Hukum Menggunakan Parfum Bagi Wanita,” Majalah Suara Muhammadiyah No. 19-20 Tahun 2019.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News