*) Oleh: Ferry Is Mirza DM
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…” (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini mengajarkan kepada umat Islam untuk menjauhi prasangka buruk (su’udzon) dan perilaku mencari-cari kesalahan orang lain, yang disebut dengan tajassus.
Tajassus biasanya merupakan kelanjutan dari prasangka buruk. Ketika seseorang telah menyimpan prasangka buruk, ia cenderung mencari pembenaran untuk prasangka tersebut dengan menyelidiki atau bahkan memata-matai orang lain.
Larangan tajassus juga mencakup segala bentuk usaha mencari tahu keburukan orang lain, baik secara langsung maupun melalui cara-cara tidak langsung, seperti bertanya kepada teman-temannya atau mencari informasi yang tidak sepantasnya.
Rasulullah SAW dengan tegas memperingatkan umatnya tentang bahaya prasangka buruk dan tajassus. Beliau bersabda:
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dustanya ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Al-Bukhari No. 6064 dan Muslim No. 2563)
Hadis ini memberikan panduan yang jelas untuk menjaga hubungan sosial yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat.
Rasulullah mengajarkan untuk selalu menghindari tindakan yang dapat merusak persaudaraan, termasuk tajassus dan sikap iri dengki.
Pandangan Salafus Shalih
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik.” (Rifqan Ahlu bi Ahli as-Sunnah, hal. 10)
Pandangan Umar bin Khatthab ini menunjukkan pentingnya menahan diri dari berprasangka buruk, bahkan ketika mendengar sesuatu yang tampak negatif dari orang lain.
Sebagai seorang mukmin, kita diajarkan untuk selalu mengedepankan prasangka baik (husnudzon) terhadap sesama.
Tajassus: Larangan dalam Islam
Para ulama telah menjelaskan bahwa tajassus adalah perbuatan yang tidak hanya merusak hubungan antarindividu, tetapi juga menodai nilai-nilai sosial dalam Islam.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa tajassus adalah salah satu dosa yang dapat merusak hati.
Tajassus juga dilarang dalam konteks mencari-cari aib keluarga, teman, atau bahkan musuh, karena setiap manusia memiliki aib yang seharusnya ditutupi.
Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata:”Barangsiapa menutup aib orang lain, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (Fath al-Bari, 5/97)
Dalam masyarakat, praktik tajassus dapat menyebabkan permusuhan, kebencian, dan hilangnya kepercayaan.
Oleh karena itu, Islam menekankan pentingnya menjaga kehormatan orang lain dan tidak ikut campur dalam urusan pribadi yang tidak perlu.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Di era digital, tajassus dapat berbentuk lain, seperti mengintai media sosial seseorang, menyebarkan isu tanpa dasar, atau bahkan menyalahgunakan teknologi untuk memata-matai orang lain. Perbuatan ini bukan hanya melanggar norma agama tetapi juga hukum positif di banyak negara.
Sebagai seorang Muslim, penting untuk selalu ingat bahwa Allah adalah Maha Mengetahui. Apa yang kita lakukan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Daripada terlibat dalam tajassus, mari kita fokus pada perbaikan diri dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Menjauhi prasangka buruk dan tajassus adalah perintah langsung dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan mengamalkan ajaran ini, kita tidak hanya menjaga kehormatan diri dan orang lain, tetapi juga membangun kehidupan bermasyarakat yang harmonis, penuh kasih sayang, dan saling menghormati.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat buruk sangka dan perilaku tajassus, serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang saling mencintai karena-Nya. (*)
Referensi:
- Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin.
- Ibnu Rajab Al-Hanbali, Fath al-Bari.
- Tafsir Ibnu Katsir terkait QS. Al-Hujurat: 12.
- Hadis-hadis Shahih Al-Bukhari dan Muslim.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News