Indonesia tidak mendasarkan pada agama tertentu, namun didasarkan pada sendi-sendi dan moral Agama. Agama dijadikan landasan moril dan idiil politik kenegaraan.
Dalam ranah kebudayaan pun terjadi polemik hangat dalam menentukan arah corak kebudayaan Indonesia. Sutan Takdir Alisyahbana mengusulkan konsep Indonesia baru yang mendasarkan kepada prinsip nilai rasionalisme, egalitarianisme, demokrasi, terbuka, dinamis dan progresif.
Meninggalkan budaya lama yang mistis, feodalistik, paternalistik, tertutup, dan fatalistik. Indonesia Baru yang diinginkan Takdir adalah Indonesia yang mencontoh rasionalisme Barat modern.
Di pihak lain, ada yang kontra terhadap ide rasionalisme Sutan Takdir, yang dimotori, antara lain oleh Abu Hanifah, Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, Tjindrabumi, Adi Negoro, M. Amier, dan lainnya, yang melihat tradisi sebagai pijakan pokok pengembangan budaya bangsa.
Budaya bangsa yang sudah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu kaya dengan makna dan nilai yang dapat dikembangkan menjadi budaya modern khas Indonesia.
Ide modernisme yang western oriented dan orientasi tradisionalisme dengan mengembangkan budaya orisional Nusantara oriented. Bertarung secara terbuka di gelanggang intelektualisme Indonesia yang mau didirikan.
Argumen masing-masing jelas, dengan berpijak pada posisi mazhab pemikiran masing-masing. Oleh Achdiat Karta Mihardja, polemik tersebut dibukukan menjadi buku dengan judul, Polemik Kebudayaan.
Polemik tersebut sangat melegenda, sehingga ada yang berkata, “Hingga saat ini, belum ada lagi polemik kebudayaan yang semonumental Polemik Kebudayaan tahun 1930-an, karena sangat jelas poros mazhabnya dan keberpihakannya kepada kebudayaan mana berkiblat.
Takdir berkata, “Baratlah “qiblat” yang harus dituju, bila Indonesia mau maju dan modern.” Pemikiran ini, mirip dengan argumen yang digunakan Kemal al-Taturk untuk memodernisasi Turki, dengan mengatakan, “Turki harus menjadi sekular seperti Barat, jika ingin maju dan modern.”
Di pihak lain berkata, “Budaya tradisional tak bisa dikesampingkan untuk menentukan arah kemajuan bangsa,” mereka berdalih, “ketercerabutan dari budaya bangsa, akan menjadikan sebuah bangsa kehilangan jati dirinya.”
Takdir membalas, “Rasionalitas harus digunakan, bila suatu bangsa mau maju. Tradisi yang membelenggu harus ditinggalkan, karena akan menghambat
Perdebatan panjang mengenai corak budaya bangsa tersebut tersaji dengan hangat dan penuh pemikiran ilmiah dan argumentatif, sehingga menghasilkan mutu pemikiran yang berharga dan melegenda.
Mengapa terjadi dikotomi tersebut? Di Indonesia, sejak tahun 1900-an, banyak anak bangsa yang mengenyam pendidikan kolonial Belanda.
Para lulusan yang dididik dalam pendidikan Barat ‘ala Belanda, menghasilkan pemikir-pemikir yang tidak berkiblat pada agama an sich.
Tetapi hasil dari bacaan filosofis dari pemikir-pemikir Barat yang notabenenya, anti kepada ajaran Kristen yang memang bertentangan dengan rasionalisme dan budaya ilmiah Barat.
Budaya berpikir murni ala Barat ini berpengaruh terhadap sikap dan pola pikir lulusan sekolah-sekolah Belanda. Dengan mengambil jarak dengan agama apa pun sebagai sikap “jaga-jaga” adanya “intervensi” dogma-dogma yang menyesatkan dari “lembaga agama”.
Sikap mereka ini dibawa terus dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa dengan pola sikap pemikiran yang sudah terdoktrin dalam alam pemikiran mereka yang “anti agama”.
Bila ditelusuri lebih jauh, polarisasi sikap keberagamaan di kepulauan Nusantara, khususnya suku Jawa, sudah lama dan mendarah-daging. Polarisasi sederhananya terbagi menjadi tiga, yakni kaum santi, abangan, anti-agama (sekular).
Santri adalah kelompok yang taat menjalankan agama. Abangan adalah kelompok yang kurang taat menjalankan agama, tapi mereka tidak mau disebut tidak beragama.
Sedangkan anti agama adalah kelompok yang menolak agama ikut campur dalam persoalan kehidupan, termasuk kenegaraan.
Untuk yang terakhir, sulit mencari istilah dalam bahasa Indonesia. Kelompok pertama dan kedua, merupakan kelompok mayoritas. Sedang yang anti agama sangat minim, tetapi ada yang bersikap seperti itu.
Dalam kaca mata Alquran, kelompok pertama, dekat dengan istilah mukmin yang punya ciri-khas bergegas berbuat kebajikan (sabiqu al-khairat).
Kelompok kedua adalah kaum muqtashid yang sikap keberagamaannya biasa-biasa saja, yang penting beragama, tetapi agama tidak dijalankan dengan sepenuh hati dalam dunia realitas
Ketiga adalah kelompok kafir, yang memang menolak peran agama dalam hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas kehidupan.
Jadi tidak heran, polarisasi tersebut ada hingga kini. Ada kelompok yang menerima modernisme sebagai keharusan bangsa, jika ingin maju dan modern.
Ada kelompok yang bersikap menerima modernisme namun enggan untuk meninggalkan tradisi lama untuk dijadikan sebagai basic pengembangan budaya bangsa. Dan ada masyarakat yang bersikap defensif bertahan dengan tradisionalisme mereka.
Siapa menang? Tidak ada yang menang mutlak dan tidak ada yang kalah mutlak. Semua mendapatkan porsi sesuai dengan “porsi” masing-masing.
Namun gagasan besarnya sebagai Bangsa Timur yang kental dengan nilai-nilai spiritual dan agama. Agama tetap ditempatkan dalam posisi terhormat dengan diposisikannya nilai ketuhanan, yaitu Tuhan yang Maha Esa, sebagai sila pertama dari Pancasila.
Porsi kelompok Nasionalis (sekular) yang lahir di bumi pertiwi ini, sesuai dengan porsi yang diambil: Nasionalis religius, bukan naisonalis sekular.
Nasionalisme Indonesia jelas mengambil bentuk nasionalis yang berbeda dengan asal-muasal nasionalisme yang lahir di Barat.
Karena secara geneologis dan biologis, para pejuang yang intelektual tersebut lahir dari keluarga beragama dan kental dengan nilai tata kerama, budi pekerti, unggah-ungguh, dan etika ‘ala budaya Timur.
Jadi, kelompok nasionalis tidaklah mengambil format sekular murni sebagaimana di Barat. Inilah mengapa, Agama dalam penetapan falsafah dasar negara menjadi perdebatan hangat dan mengemuka.
Ambillah dua contoh pioner tokoh gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, Soekarno dan Natsir.
Dua-duanya merupakan lulusan pendidikan Belanda, namun latar belakang budaya, berpengaruh terhadap gagasan dasar negara dan bentuk negara. (*/bersambung)
Baca juga: Pemimpin Indonesia, Mendayung Di Antara Sekularisme dan Islamisme (1)
Baca juga: Pemimpin Indonesia, Mendayung Di Antara Sekularisme dan Islamisme (3)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News