Soekarno lahir dari keluarga Jawa-Bali yang kental dengan budaya Jawa-Majapahit. Soekarno sebagai top of the top tokoh pergerakan, karena secara riil, dia yang “memenangkan” pertarungan sebagai pemimpin bangsa dengan menjadi presiden RI pertama.
Bila kita baca dalam kumpulan tulisannya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1, dan buku tipis seperti Api Islam, akan ditemukan pemikiran modernisme Islam Soekarno yang sangat brilian dan maju.
Islam yang dimaui Soekarno, bukan Islam yang kolot dan anti kemajuan, tetapi Islam yang berkemajuan dan mampu bersaing di persaingan global. Namun sayang, pemikiran Islamnya, tenggelam oleh “nasionalisme” sempit para pendukungnya.
Soekarno belajar agama dengan tokoh-tokoh penting dan punya pengetahuan luas dan mendalam. Sebutlah seperti Tjokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, A. Hassan dan buku-buku keislaman secara otodidak.
Pemikiran keislamannya sangat modern, dinamis, dan maju. Pernah aktif di organisasi kaum modernis: Muhammadiyah. Pemikirannya dapat dibaca di berbagai tulisannya, terutama dalam kapita salektanya yang besar: Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1.
Namun konsep pemikiran kenegaraannya, lebih condong kepada konsep nasionalisme, tetapi religius. Religiusnya terlihat dengan memasukkan rumusan Pancasila, yaitu unsur Ketuhanan masuk dalam sila-sila yang diusulkan Soekarno waktu mempresentasikan gagasannya dalam siding BPUPKI.
Jadi, Soekarno tidak mengambil posisi sebagai seorang sekular yang anti Agama, namun seorang nasionalis yang religius.
Natsir, lahir di Sumatera Barat, gudang pemikir Islam modernis. Namun berpendidikan Belanda. Dia banyak belajar Islam secara otodidak dan juga belajar kepada guru-gurunya di Surau di Sumatera Barat.
Pemikiran keislamannya banyak dipengaruhi oleh gurunya: Ustaz A. Hassan Bandung, guru besar Persis (Persatuan Islam). Walaupun berpendidikan Belanda, dia mendukung konsep negara Islam, bukan negara sekular.
Gagasannya diperjuangkan lewat Partai Masyumi. Partai yang mengusung didirikannya negara berdasarkan syariat Islam. Namun konsep negara Islamnya kental dengan nilai-nilai nasionalisme.
Pemikir muslim sekaliber Natsir tidak menganut konsep universalisme kekuasaan dalam kekuasaan tunggal satu orang khalifah yang membawahi kekuasaan wilayah-wilayah Islam.
Tidak pernah dalam sejarah perjuangan bangsa dalam menentukan bentuk dasar negara, kaum sekular menang.
Penolakan kaum Kristen terhadap konsep negara Islam dan keberhasilan mereka dalam menghapus 7 (tujuh) kata dari Piagam Jakarta, adalah karena primordialisme agama belaka.
Karena dari kalangan mereka, juga ada yang memperjuangkan untuk mendirikan negara berdasar agama mereka. Dan penghapusan 7 kata dalam Preambule UUD 1945, bukan pula kemenangan kaum sekular. Karena ide sekularisme hanya kencang di wacana, namun miskin dukungan.
Lucunya, nasionalisme menjadi semacam eklekstisme pertemuan gagasan besar tentang Pan Islamisme, sekularisme dan tradisionalisme.
Karena dalam konsep nasionalisme dapat menampung ketiga pemikiran besar tersebut dalam batas limit yang bisa diterima dari tiga isme tersebut, tanpa masing-masing “kehilangan muka” dalam memberikan subtansiasi terhadap nasionalisme negara modern Indonesia.
Di mana peran santri? Santri mengambil porsi banyak dalam pergerakan perjuangan pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Bahkan hingga zaman Reformasi tak luput dari peran kaum santri.
Sebelum perang kemerdekaan tahun 1945, pemimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda, adalah kaum santri, dari kalanganulama. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Sentot Ali Basya, Tuanku Imam Bonjol, Tengku Cik Ditiro, Tengku Umar, Panglima Polim, Cut Nya’ Dien, Syekh Yusuf al Makassari, dan lainnya.
Mereka merupakkan produk pesantren. Hasil didikan ulama. Bahkan pejuang hak-hak perempuan, R.A. Kartini adalah murid dari kyai besar, KH. Saleh Darat al-Samarani. Begitu juga tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan 1945, banyak dari kalangan santri.
Soekarno, Presiden RI pertama, walau bukan lulusan pesantren, namun berguru kepada ulama besar, Ustaz A. Hassan, juga kepada Tjokroaminoto, dan Kyai Ahmad Dahlan. Mr. Syafruddin Prawiranegara, Presiden [PD]RI, didikan Surau di Sumatera Barat.
Soeharto, Presiden RI kedua, lulusan sekolah Muhammadiyah. BJ. Habibie, presiden yang kuat keberagamaannya. Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) santri tulen. Dengan demikian, pemimpin negeri ini adalah tokoh-tokoh agamis, religius, bukan anti Tuhan dan anti agama.
Apalagi pada level di bawanya, tentu yang mengisi adalah kaum terpelajar dan tentu saja kelompok lulusan madrasah dan pesantren. Secara sosio-politis, non sense jika negeri ini akan disekularkan.
Adanya letupan-letupan pernyataan dari kaum sekular dan anti agama, adalah bunga-bunga indah yang mewarnai kemajemukan berbangsa dan bernegara.
Sekaligus membuktikan bahwa santri kelas menengah Indonesia mampu untuk menjadi pioner pluralisme aktual.
Bukan pluralis di mulut dan demagogi berbusa-busa yang disampaikan di mana-mana dan saat kapan saja, namun nihil kenyataan.
Demagogi yang meledak-ledak saat berpidato, khotbah, atau berbicara, Intinya adalah “berperang” pada tataran formalisme dan subtansialisasi filosofi dasar negara.
Bukan pada ide pokok dasar bernegara. Hampir semua produk legislasi di Indonesia, tidak ada yang luput dari nilai agama apa pun.
Memang terjadi perang politik gincu dan politik garam, meminjam istilah Bung Hatta. antargolongan dan kelompok politik berebut kue yang akan dikemas menurut bentuk dan rasa yang cocok dengan selera kelompok dan golongannya.
Mereka ingin memberikan warna sesuai dengan corak kelompoknya dan memberikan rasa sesuai dengan selera kelezatan yang cocok dengan selera mereka.
Perjuangan kaum sekular, tak pernah berhenti. Jihad sekularismenya tak pernah padam untuk menjungkalkan agama. Minimal menetralkan sikap orang untuk tidak menggunakan landasan religius sebagai rujukan, tetapi kepada akal sehat dan nurani.
Namun perjuangan tersebut tidak pernah berhasil, karena akal sehat dan nurani orang Indonesia berbasis pada nilai-nilai agama dan kebajikan sebagai nilai-nilai asli kebudayaan Timur.
Sekularisme dengan sendirinya bertentangan dengan adat istiadat, pemikiran dan budaya orang-orang yang mendiami di kepulauan Nusantara ini. Karena native-nya, orang Timur itu religius dan ber-Tuhan.
Sedang di kalangan Islam, terutama Islam masa kolonial, kuat sekali pengaruh gerakan Pan-Islamismenya Afghani. Untuk bangkit keterpurukan bangsa muslim akibat penjajahan Barat, maka politik Islam yang bersifat menyeluruh (pan), harus dimobilisasi untuk menumbuhkan kesadaran kemandirian politik kaum muslim.
Bagi Afghani, Islam merupakan obat mujarab yang dapat menyembuhkan “penyakit” peradaban dan politik kaum muslim.
Kaum muslim di Nusantara ini, terpengaruh oleh gerakan Pan Islamismenya Afghani, untuk membebaskan negara jajahan ini dari cengkeraman kolonial Belanda, termasuk Soekarno.
Politik Islam unitarianis ini, banyak dimainkan oleh kaum santri, untuk mengambil peran dalam perpolitikan nasional, sejak pra kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan.
Dan hal tersebut sah-sah saja, karena mereka punya saham dan kontribusi besar dalam mendirikan rumah besar yang bernama Indonesia.
Perjuangan formalisasi dan subtansiasi negara Indonesia, berjalan terus sebagai agenda politik kaum muslim.
Sebagaimana juga kaum nasionalis dan kelompok sekularis mengkampanyekan dan terus menerus mendengungkan penolakan agama berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apakah pertarungan itu akan berakhir? Tentu tidak. Dialektika tersebut akan berlangsung terus yang tidak akan pernah mencapai kulminasinya, dengan memetamorfasa dirinya dalam bentuk yang berbeda-beda, namun garis besarnya dapat difusikan dalam mazhab-mazhab besar politik yang dominan dan hegemonik.
Namun, akhir sebuah drama heroik di panggung besar yang bernama Negara Republik Indonesia adalah disepakatinya Pancasila sebagai dasar falsafah negara.
Indonesia merupakan sumbangsih santri dan golongan lain, dalam percaturan politik Indonesia. Keterlibatan santri dalam politik teoritik dan praksis, bukan isapan jempol dan omong kosong belaka, tetapi nyata.
Peran santri dalam perpolitikan Indonesia, bukan hanya sekedar mewanai dengan gincu dan atau memberi subtansi rasa asin seperti garam sebagaimana yang dikemukakan oleh proklamator RI, Bung Hatta.
Kontribusi intelektual dan aktual dalam pergumulan dan percaturan politik Indonesia, memberi nuansa tersendiri yang berbeda dengan negara-negara lain.
Sebagai syahadah, sebagai kesaksian dan pembuktian nyata atas komitmennya sebagai seorang muslim yang bercirikan santri dalam mensubtansiasi Rumah Besar Indonesia dengan corak yang ramah (dari kata rahmah), agamis, dan progresif. (*/habis)
Baca juga: Pemimpin Indonesia, Mendayung Di Antara Sekularisme dan Islamisme (2)
Baca juga: Pemimpin Indonesia, Mendayung Di Antara Sekularisme dan Islamisme (1)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News