Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sering kali kita dihadapkan pada situasi yang memerlukan penilaian mengenai hal-hal yang belum secara eksplisit diatur dalam teks suci.
Salah satu contohnya adalah permasalahan menguatkan gigi dengan bahan seperti perak. Meski pun dalam Alquran dan sunah tidak terdapat larangan yang khusus terkait dengan tindakan ini, banyak pertimbangan dan pandangan dari kalangan ulama yang dapat membantu kita memahami isu ini.
Prinsip dasar dalam muamalah adalah bahwa segala sesuatu diperbolehkan (mubah) kecuali ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.
Prinsip ini menuntun kita untuk mempertimbangkan konteks dan urgensi suatu tindakan sebelum kita membuat penilaian moral.
Salah satu argumen yang digunakan untuk membenarkan tindakan menguatkan gigi dengan perak adalah kebutuhan yang mendasar.
Bagi mereka yang kehilangan gigi, mengunyah makanan menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin tanpa bantuan gigi palsu.
Ini berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan individu, yang juga memiliki implikasi terhadap pencernaan makanan.
Lebih dari itu, kemampuan untuk membaca teks suci, seperti Alquran, juga terkait dengan kondisi gigi.
Orang yang kehilangan gigi mungkin akan menghadapi kesulitan dalam membaca dengan jelas dan baik, mengingat beberapa bunyi dalam bahasa Arab memerlukan interaksi gigi.
Pandangan dari beberapa ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Muhammad asy-Syaibani, dan Abu Yusuf, memberikan perspektif lebih lanjut mengenai masalah ini.
Mereka menunjukkan bahwa tindakan menguatkan gigi dengan perak dapat diterima, dan hal ini dianalogikan dari tindakan menguatkan tulang hidung yang patah dengan emas, yang pernah diizinkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam situasi darurat.
Keterkaitan antara dua tindakan tersebut diambil sebagai dasar perbandingan, sehingga menguatkan gigi dengan perak juga dianggap sah dalam konteks tertentu.
Kesimpulannya, isu mengenai menguatkan gigi dengan perak merupakan salah satu contoh bagaimana ajaran agama Islam dapat diaplikasikan dalam konteks kehidupan modern.
Meskipun tidak ada larangan langsung dari Alquran dan sunah terkait tindakan ini, pandangan ulama dan prinsip dasar muamalah memberikan landasan bagi penilaian etis.
Dalam situasi darurat atau kebutuhan yang jelas, tindakan menguatkan gigi dengan perak dapat dipertimbangkan sebagai opsi yang sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan norma sosial.
Oleh karena itu, permasalahan ini menunjukkan kekayaan dan fleksibilitas ajaran Islam dalam menghadapi perubahan zaman. (*/tim)
Sumber: muhammadiyah.or.id
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News