Majalah Suara Muhammadiyah dan Industri Media Massa
Suara Muhammadiyah Corner. foto: ist

Majalah Suara Muhammadiyah (SM) memperingati hari kelahirannya yang ke-108 tahun. Tidak ada perayaan besar-besaran. Hanya tasyakuran yang dihadiri seluruh karyawan beserta anggota keluarga.

SM bisa dibilang majalah tertua di Indonesia. Saya belum menemukan fakta, ada majalah yang usianya lebih lama dari SM dan kini masih eksis.

SM juga berhasil menorehkan sejarah panjang sebagai media dakwah Islam yang lahir dari pangkuan Muhammadiyah. Faktor kesejarahan itu saya kira sangat penting. Mengingat banyak sekali media dakwah cetak yang yang akhirnya gulung tikar.

Penyebabnya apalagi kalau bukan urusan pembiayaan. Pendapatan dari penjualan dan iklannya tak mampu menutupi biaya operasional dan gaji karyawan.

Beberapa media Islam yang dulu pernah ada. Sebut saja, Panji Masyarakat. Majalah ini dulu sangat populer. Tahun 1960, Pernah dibredel oleh Pemerintah Orde Lama, kemudian terbit lagi enam tahun kemudian.  Namun  nasibnya makin redup dan pada tahun 2001, majalah ini berhenti terbit. Panji Masyarakat terbit lagi tapi dalam versi online, 2019.

Satu lagi, Majalah Al-Muslimun. Salah satu majalah Islam legendaris. Dulu, menjadi bacaan para dai, aktivis, dan intelektual Islam. Namun dalam perjalanan pengelolanya tidak bisa melanjutkan hingga tidak beredar lagi  alias tutup pada Desember 2008.

Dan masih banyak lagi media Islam yang masih saya ingat, seperti Amanah, Media Dakwah, Ummat, dan  Sabili yang sudah tidak beredar lagi lantaran terlilit masalah finansial.

Saya senang sekaligus bangga bisa mengikuti perjalanan SM . Beberapa kali artikel yang saya tulis pernah dimuat di majalah tersebut. Kurun waktu terakhir, beberapa artikel saya juga dimuat di platform digital Suara Muhammadiyah.

Majalah Suara Muhammadiyah dan Industri Media Massa
foto: suaramuhammadiyah.id

***

Meski memiliki majalah tertua, namun banyak kalangan yang mengharapkan Muhammadiyah mampu membangun media massa yang dikelola secara profesional dan mandiri. Media massa yang mampu menandingi kekuatan media publik lainnya.

Tantangan itu terus mengemuka ketika membicarakan posisi Muhammadiyah yang kini berusia 114 tahun sekaligus sebagai organisasi Islam tertua dan punya basis massa besar di Indonesia.

Dari mana munculnya lontaran tersebut? Tentu yang terbanyak dari warga dan simpatisan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia maupun di luar negeri. Baik dari kalangan muda maupun senior.

Kenapa? Karena mereka cemas atas kesiapan Muhammadiyah menghadapi pertarungan informasi global. Mereka peduli karena merasa memiliki dan mengerti Muhammadiyah, bukan hanya sebagai organisasi secara administratif, tapi juga dalam perspektif yang lebih luas.

Yakni, Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan yang di dalamnya terkandung sistem keyakinan (religious movement), pengetahuan (knowledge), dan praktik-praktik aktivitas (practices activity) yang mengarah pada tujuan (goal) yang dicita-citakan. (Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah, 2006).

Kecemasan warga dan simpatisan Muhammadiyah itu juga lantaran mereka merasa ngeman (tidak rela). Banyak praktik baik dan isu seputar Muhammadiyah yang tidak terkaver secara luas.

Banyak sikap Muhammadiyah yang tidak diketahui publik secara utuh dan komprehensif. Baik yang disampaikan secara personal dan organisasi.

Kita sungguh bisa memahami kecemasan tersebut. Pasalnya, Muhammadiyah yang sudah teruji dan terbukti punya sayap kuat dan kokoh dalam mengelola amal usaha, sampai sekarang masih belum optimal menyajikan dan memenuhi kebutuhan informasi yang sejalan dengan visi, misi, pikiran dan gagasan besar Muhammadiyah.

Ya, media massa yang memiliki kekuatan besar untuk mendorong dan mempengaruhi kebijakan publik. Yang menggerakkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Dulu, era 90-200-an, beberapa pimpinan wilayah dan pimpinan daerah Muhammadiyah di Indonesia melakukan upaya kreatif dengan menerbitkan media.

Kala itu masih dengan format cetak,  seperti buletin, tabloid, dan majalah. Selain informasi, media-media itu juga menyuarakan kepentingan dan sikap Persyarikatan.

Akan tetapi, belum satu pun yang dikelola secara baik dan profesional. Hanya mengandalkan kekuatan anggota yang akan mendukung dengan membeli.

Dalam perjalanan, media-media Muhammadiyah itu tidak tumbuh, bahkan berkecenderungan layu. Ada yang mati suri, tidak bisa terbit berkala, ada juga yang tenggelam alias tidak terbit lagi.

Majalah Suara Muhammadiyah dan Industri Media Massa
Para peserta Jambore Media Afiliasi 2022. foto: mdindonesia

***

Jika merujuk keberadaan media massa, tentu salah satunya terkait belum dimilikinya institusi yang memadai. Pekerjaan rumah yang satu ini hingga sekarang belum terselesaikan.

Banyak yang mengasumsikan ketiadaan entitas itu karena Muhammadiyah lebih berkonsentrasi merawat aset-aset dan amal usahanya.

Kehadiran industri media massa rasanya dibutuhkan Muhammadiyah yang makin matang dengan gerakan dan pengaruhnya di negeri ini.

Industri media massa itu bisa tercipta melalui tangan-tangan kreatif. Mereka yang mampu melahirkan karya-karya inovatif dan berkualitas yang bisa dinikmati khalayak luas.

Selain itu, industri media massa yang dibutuhkan Muhammadiyah harus mampu menciptakan regenerasi agar siklus organisasi bisa berjalan berkesinambungan. Juga berkomitmen dengan manajemen yang memiliki tujuan yang jelas dan terukur.

Berkolaborasi dengan baik melalui aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, serta penetapan tujuan. Dengan manajemen yang baik tentu akan melahirkan produk dan kebijakan yang baik pula.

Lahirnya industri media massa  sangat berguna untuk melayani kepentingan umat. Juga sebagai media dakwah, penyebaran informasi, kontrol sosial, peneguhan nilai-nilai keislaman, dan memberdayakan umat.

Dalam sejarahnya, Muhammadiyah adalah organisasi otonom yang concern dengan dakwah. Hal itu bisa didefinisikan dengan spirit amar makruf nahi mungkar, yakni penyebarluasan ajaran atau paham. Sementara industri media massa merupakan instrumen untuk penyebarluasannya.

Ada beberapa catatan yang mesti dilihat. Pertama, hingga kini, perhatian Muhammadiyah terhadap industri media massa masih berkesan konvensional. Kalau pun Muhammadiyah punya produk belum dioperasionalkan secara profesional.

Pengelolaannya masih mengandalkan dukungan dan sokongan dari anggota dan simpatisan dengan membangun ikatan-ikatan komunal. Hal ini sebagai upaya merekatkan mereka agar bisa mendukung media Muhammadiyah, baik yang bersifat official maupun afiliasi.

Hingga kini, kita belum pernah mendapat informasi, apakah Muhammadiyah sudah melakukan studi kelayakan untuk menakar seberapa besar kepuasan konsumen media-media produk Muhammadiyah tersebut.

Kedua, keberadaan media-media produk Muhammadiyah, baik official maupun afiliasi, sekarang masih belum kompetitif dalam melakukan akselesasi perebutan wacana. Kenyataan ini dapat dilihat dari isu-isu penting dan strategis yang  menyentuh Muhammadiyah tidak tersosialisasikan secara baik dan cepat.

Pengejawantahannya juga tidak menyeluruh. Distorsi informasi masih kerap terjadi. Hal ini pada gilirannya memantik ketidakpuasan. Jika hal ini dibiarkan tentu akan melahirkan kekecewaan, khususnya yang dirasakan anggota dan simpatisan Muhammadiyah.

Untuk melihat keberpihakan media massa dalam memberitakan sebuah peristiwa maupun pendapat, dapat diketahui dengan metode analisis wacana (discourse analysis).

Untuk yang satu ini kita bisa belajar dari pandangan James Paul Gee dalam buku An Introduction to Discourse Analysis, Theory and Metode, bahwa penggunaannya tidak cukup ciri-ciri kuantitatif dari analisis isi, tapi memusatkan diri pada bagaimana bahasa yang digunakan untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas.

Ketiga, kemasan media Muhammadiyah harus benar-benar bisa diterima pembaca yang notabene memiliki banyak pilihan media yang layak dikonsumsi. Dengan demikian, tuntutan membuat media yang menarik simpati pasar, tanpa melepaskan visi dan misi Muhammadiyah, adalah sebuah keharusan.

Dengan bekal manajemen yang baik, tentu akan mendukung proses pengembangan jaringan kerja (networking) dengan elemen lain di luar Muhammadiyah.

Dalam konteks ini, jaringan kerja dipahami sebagai proses aktif membangun dan mengelola hubungan yang produktif, luas, kokoh, baik secara personel maupun organisasi.

Hubungan itu bisa terjalin bila individu-individu di dalamnya memiliki kualitas sumber daya yang relatif baik. Persyaratan ini membawa implikasi logis, bahwa jaringan kerja tercapai bila didasarkan hubungan kesetaraan dan kesejajaran. Sehingga yang dihasilkan akan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).

Lewat cara ini, diharapkan akan lebih gampang mengurai persoalan-persoalan krusial yang kerap melilit organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah. Di antaranya urusan pendanaan, penyediaan sarana dan sarana, serta pelebaran jaringan kerja.

Kurun waktu terakhir, perkembangan media massa mensyaratkan terjadinya persaingan keras. Di sini, peran media-media Muhammadiyah harus mampu menandingi dan menetralisasi segala kekeliruan informasi yang bisa berdampak buruk bagi umat. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini