*) Oleh: Ferry Is Mirza DM
Jumat Mubarak,
Tidak diragukan bahwa dakwah merupakan suatu amalan yang sangat utama. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru menuju Allah dan dia beramal saleh, dan dia pun berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk dari kaum muslimin.’” (QS. Fushshilat: 33)
Para ulama menjelaskan bahwa dakwah itu membutuhkan ilmu. Karena berdakwah tanpa ilmu berarti beramal dengan kebodohan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata.’” (QS. Yusuf: 108)
Pada masa ini, dengan berkembangnya teknologi informasi dan media sosial, hal itu telah membuka pintu bagi siapa pun untuk menyebarkan ucapan dan ajakan.
Tidak terkecuali dalam urusan dakwah. Sayangnya, banyak orang tidak menyadari kapasitas dirinya. Akhirnya, mereka berbicara sesuatu yang bukan keahlian dan di luar wewenangnya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya.” (QS. Al-Isra’: 36)
Inilah di antara fenomena yang melanda masyarakat masa kini. Ketika ‘semua orang’ berbicara tanpa mengenal adab dan etika.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata kata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa keimanan akan menjaga seorang muslim dari keburukan lisannya.
Di antara keburukan lisan itu adalah berbicara dalam urusan agama tanpa ilmu dan tanpa adab. Allah Ta’ala berfirman,
“.. Dan kalian berbicara dengan mengatasnamakan Allah apa-apa yang kalian tidak ketahui ilmunya.” (QS. Al-A’raf: 33)
Di dalam Alquran, Allah juga mengaitkan perintah takwa dengan perintah untuk berucap dengan ucapan yang lurus.
Bahkan, ketika memerintahkan Musa dan Harun untuk berdakwah kepada Fir’aun, maka Allah juga menyuruh mereka berdua untuk berbicara dengan ucapan yang lembut kepadanya.
Jagalah Lisanmu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang menjaga apa yang ada di antara kedua jenggotnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka dia akan masuk surga.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 22)
Di dalam Al-Adzkar, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ketahuilah, semestinya bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syariat) untuk menjaga lisannya dari segala ucapan, kecuali ucapan- ucapan yang tampak jelas kemaslahatannya.
Apabila ternyata setara antara kemaslahatan berbicara atau tidak berbicara, maka yang dianjurkan adalah menahan diri darinya.
Sebab bisa jadi ucapan-ucapan yang pada dasarnya mubah menyeret kepada ucapan yang haram atau makruh.
Bahkan, hal semacam ini banyak terjadi dan lebih dominan dalam kebiasaan (sebagian orang). Padahal, keselamatan diri (dari bahaya lisan) adalah sebuah perkara yang tidak bisa dinilai dengan sesuatu apa pun.” (Lihat Al-Fitnah wa Atsaruha Al-Mudammirah, hal. 302)
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Tidaklah memahami agamanya, orang yang tidak pandai menjaga lisannya.” (Lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2: 84)
Thawus rahimahullah berkata: “Lisanku adalah binatang buas. Apabila aku melepaskannya dengan bebas, niscaya ia akan memakan diriku.” (Lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2: 90)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata: “Demi Allah yang tiada sesembahan yang benar selain-Nya.
Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh dipenjara dalam waktu yang lama selain daripada lisan.” (Lihat Az-Zuhd li Ibni Abi ‘Ashim, hal. 26). (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News