Melacak Asal-usul Perseteruan Islam dan Komunis

Membahas gerakan pembaruan Islam di Indonesia memang selalu menarik. Banyak kisah tersembunyi yang belum banyak diketahui publik.

Seperti pada artikel pertama yang saya tulis berjudul, Lahirnya Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia yang Wajib Diketahui, muncul beberapa pertanyaan.

Salah satunya, sebenarnya siapa yang menjadi organisasi pergerakan pertama di Indonesia?

Budi Utomo ataukah Jam’iyyat Al Khayr lebih dikenal dengan sebutan nama Jamiat Kheir?

Perdebatan ini sudah menyita banyak energi bangsa Indonesia setiap tahun dan masing-masing merasa paling benar.

Lalu, mana yang benar?

Bagi saya, yang sudah lama menggeluti sejarah, sebenarnya itu adalah hal sederhana dan sangat mudah untuk menyimpulkan karena semuanya adalah masalah fakta sejarah.

Yang membuat pembahasan makin sulit dan tidak selesai-selesai adalah apabila ada pihak-pihak yang memasukkan kepentingan politis, apalagi kepentingan untuk menghapus jejak-jejak Islam.

Dan faktanya memang seperti itu yang terjadi di banyak tempat dan kesempatan. Padahal kalau kita lihat dari fakta sejarah sudah sangat gamblang dan terang-benderang mana organisasi pertama yang lahir di tanah air.

Sesuai fakta sejarah diketahui bahwa Jamiat Kheir merupakan organisasi yang berdiri secara resmi pada 17 Juli 1905 di Jakarta, dirintis kaum keturunan Arab untuk mewujudkan kebangkitan Islam melalui pendidikan. Nama Jamiat Kheir artinya perkumpulan untuk kebaikan.

Latar belakang berdirinya Jamiat Kheir karena para keturunan Arab tersebut merasa prihatin melihat kondisi umat Islam di tengah-tengah penjajahan Belanda.

Gagasan membentuk sebuah kemajuan organisasi pun didiskusikan tokoh-tokoh Arab tahun 1898. Barulah pada tahun 1901, rencana tersebut mulai dilaksanakan dan resmi berdiri tahun 1905 M.

Jadi, pendirian Jamiat Kheir melalui proses cukup panjang. Para pendirinya, Said bin Achmad Basandiet, Moehamad al-Fachir bin Abdulrachman al-Mashoer, Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Shahab, Mohamad bin Abdullah bin Shahab, dan Aijdroes bin Achmad bin Shahab.

Gerakan organisasi ini awalnya difokuskan pada dunia pendidikan. Selain menentang pendidikan Belanda dengan mendirikan sekolah muslim sendiri, organisasi ini juga gencar mengirim pelajar ke Turki.

Guru-gurunya didatangkan dari Tunisia, Sudan, Maroko, Mesir, dan Arab. Interaksi mereka dengan tokoh-tokoh pergerakan dunia juga surat kabar di luar negeri turut menyebarkan kabar kekejaman pemerintah Belanda.

Guru terkenal organisasi ini adalah ulama besar Mekkah asal Sudan, Syekh Ahmad Surkati. Para tokoh kebanyakan lahir dari organisasi ini, di antaranya adalah KH. Ahmad Dahlan, HOS. Tjokroaminoto, H. Samanhudi, dan H. Agus Salim.

Fakta sejarah berdirinya Jamiat Kheir sekaligus menepis anggapan bahwa organisasi pergerakan pertama kali di Tanah Air adalah Budi Utomo.

Fakta yang benar adalah jauh sebelum Budi Utomo yang dibentuk beberapa mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) itu lahir, Jamiat Kheir justru berdiri lebih awal.

Budi Utomo berdiri pada 20 Mei 1908 di Jakarta. Sementara Jamiat Kheir lahir tahun 1905. Itu pun yang banyak aktif di Budi Utomo adalah para tokoh Jamiat Kheir, seperti KH Ahmad Dahlan.

Tak hanya Jamiat Kheir, organisasi Islam lain yang juga berdiri di tahun yang sama adalah Sarekat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini didirikan oleh KH Samanhudi pada 16 Oktober 1905 di era kolonialisme.

SDI sebagai wadah perkumpulan dan pergerakan bagi para pedagang muslim pribumi digunakan untuk menandingi monopoli pedagang Tionghoa masa itu.

Sikap sewenang-wenang imperialisme pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap pedagang pribumi membuat KH Samanhudi bergerak cepat menyebarkan berita berdirinya SDI, salah satunya melalui buletin Taman Pewarta (1902-1915).

KH Samanhudi sendiri merupakan putra Haji Muhammad Zen, pengusaha batik di Laweyan, Surakarta. Beliau lahir di Karanganyar, Wilayah Kesultanan, Surakarta tahun 1.868 M. Nama asli beliau adalah Sudarno Nadi.

Sejak kecil, semangat belajar Sudarno terlihat sekali, bahkan beliau pergi ke Surabaya untuk mengikuti pendidikan Sekolah Dasar Bumiputera kelas satu.

Tak hanya pendidikan umum, Sudarno Nadi juga menekuni pendidikan agama Islam. Bahkan beliau juga menempuh pendidikan di sejumlah pondok pesantren, di antaranya pesantren yang diasuh KH Sayuthi di Ciawigebang, pesantren KH Abdur Rozak di Cipancur, Pesantren Sarajaya di Cirebon. Juga pesantren Sukamanah di bawah asuhan KH Zainal Musthofa di Tasikmalaya.

Maka, tak heran bila beliau menjelma sebagai tiga sosok sekaligus. Selain sebagai ilmuan dan ulama, sekaligus juga sebagai pengusaha. Jiwa pengusahanya mulai tumbuh saat Sudarno belajar di sekolah.

Saat sekolah itu, beliau juga menunjukkan minatnya di dunia perdagangan, terutama perdagangan batik. Dari minat inilah Sudarno mulai mengenal dan menjalin relasi dengan para pedagang dari berbagai daerah baik di Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Jawa Barat.

Jiwa perjuangan Sudarno kian muncul saat berguru dengan KH Zainal Musthofa di pesantren Sukamanah Tasikmalaya. Selama belajar di pesantren tersebut, Sudarno banyak bertukar pikiran tentang perjuangan rakyat Indonesia untuk merdeka.

KH Zainal Musthofa sendiri adalah Pahlawan Nasional yang memimpin perlawanan melawan penjajah dan meninggal dihukum mati penjajah Jepang.

Tahun 1904 M, Sudarno Nadi berangkat haji dan sepulang dari Mekkah, nama beliau berganti jadi KH Samanhudi dan mendirikan sebuah organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905 M di Solo.

Langkah Samanhudi tersebut memberikan inspirasi bagi Raden Mas Tirtoadisuryo, seorang tokoh pers sekaligus dokter untuk mendirikan SDI di Jakarta tahun 1909 M, begitu juga Badjenet mendirikan SDI di Bogor tahun 1909 M.

Dalam perjalanan selanjutnya, SDI berkembang pesat dan diperhitungkan. Namun begitu, ruang gerak SDI terbatas karena hanya menampung anggotanya dari para pengusaha, sehingga nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI) dalam kongres di Surabaya di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto tahun 1912 M.

Sarekat Islam inilah yang akhirnya menjelma sebagai partai politik pertama umat Islam di tengah-tengah pemerintahan kolonial penjajah untuk memperjuangkan umat Islam.

Di mata umat Islam, HOS Tjokroaminoto bukanlah orang asing. Beliau bernama lengkap Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, lahir di Bakur, Sawahan, Madiun, Jawa Timur, tanggal 16 Agustus 1882.

Beliau merupakan anak kedua dari 12 bersaudara. Ayahnya bernama Raden Mas Tjokromiseno, seorang wedana (pembantu bupati) di Kleco, Madiun. Kakeknya dari garis bapak, Raden Mas Adipati Tjokronegoro, pernah memimpin Kabupaten Ponorogo.

Ada pun buyutnya merupakan ulama besar, Kiai Bagoes Kesan Besari, pengasuh pondok pesantren di Tegalsari, Ponorogo. Kiai Bagoes Kesan Besari sendiri tercatat merupakan suami dari putri Susuhunan Pakubuwono II dari Surakarta.

Dari silsilahnya inilah darah pejuang mengalir deras dalam diri HOS Tjokroaminoto. Jadi, HOS Tjokroaminoto lahir dari kalangan bangsawan. Di dalam tubuhnya mengalir darah ulama (kiai) dan ningrat (priyayi) sekaligus.

Sebenarnya, HOS Tjokroaminoto dididik dan dipersiapkan oleh keluarganya untuk jadi calon pegawai dengan disekolahkan pada OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) di Magelang.

Pada usia 20 tahun, dia lulus dan menjadi juru tulis di Glodog, Purwodadi. Beliau menikah dengan RA Soeharsikin, putri keluarga priyayi RM Mangoensoemo, yang saat itu menjabat wakil bupati Ponorogo.

Namun, daya kritis yang dimiliki HOS Tjokroaminoto sejak kecil membuatnya tidak bisa berlama-lama menjadi birokrat kolonial. Pada 1905, Tjokroaminoto mundur dari pekerjaannya. Keputusan ini sempat menuai protes dari mertuanya, tetapi beliau bergeming.

Dia lantas pergi mengunjungi sejumlah pondok pesantren, lalu hijrah ke Semarang, dengan memboyong istri tercinta. Tahun 1907, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Sipil BAS (Burgerlijke Avond School).

Untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, dia bekerja di perusahaan niaga Kooy&Co. Tiga tahun kemudian, dia lulus dan sempat menerapkan keahliannya sebagai juru mesin dan juru kimia di sebuah pabrik gula di Rogojampi, Surabaya, hingga tahun 1912.

Inilah lika-liku kehidupan Tjokroaminoto, dan sekaligus memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa kehebatan Tjokroaminoto bukan datang begitu saja, tetapi merupakan hasil perjuangan keras.

Nasab sebagai keturunan bangsawan juga ulama masih belum menjadi jaminan bagi HOS Tjokroaminoto untuk jadi orang hebat tanpa tekad dan perjuangan keras di dada.

Di sela-sela kesibukannya, bapak lima orang anak ini mulai aktif di organisasi sosial bahkan menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo. Dia juga aktif di Sarekat Dagang Islam.

Hingga akhirnya dalam Kongres di Surabaya pada 10 September 1912, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI) dan HOS Tjokroaminoto didaulat sebagai ketuanya.

Di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, SI berkembang pesat bahkan anggotanya tercatat sebanyak 2,5 juta tersebar ke banyak penjuru. Inilah yang membuat HOS Tjokroaminoto mendapat predikat sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota (De Ongekroonde Van Java).

Rumah HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII Nomor 29-31, Surabaya seolah jadi markas pergerakan dan melahirkan banyak tokoh besar. Di antara tokoh besar dan dibesarkan adalah Soekarno (Bung Karno), yang kelak menjadi presiden pertama.

Bung Karno memang menjadi bukti keberhasilan kaderisasi HOS Tjokroaminoto. Ini karena sejak awal, ayah sang proklamator, Raden Soekemi Sosrodihardjo bersahabat baik dengan Tjokroaminoto.

Raden Soekemi ingin anaknya, Soekarno yang kala itu masih berusia 15 tahun dibimbing HOS Tjokroaminoto dan tinggal di rumahnya selama bersekolah di Surabaya.

Selain Soekarno, tokoh-tokoh lain yang berproses menjadi murid HOS Tjokroamnoto di rumah itu adalah Semaun, Alimin, Musodo (Muso), Tan Malaka, RM Kartosuwiryo, dan Abikusno Tjokrosoejoso. Tokoh lain yang juga sering hadir bertukar pikiran di rumah Tjokroaminoto adalah KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur.

Namun sayang, dalam perkembangan selanjutnya, Sarekat Islam disusupi oleh kelompok komunis, hingga akhirnya organisasi politik SI pun terpecah jadi dua, yakni SI Putih dan SI Merah.

SI putih adalah kelompok berhaluan kanan alias Islam dimotori HOS Tjokroaminoto, sedang SI Merah berhaluan kiri alias kelompok komunis (PKI) dimotori Semaun dan Darsono.

Soekarno ikut gerbong SI putih HOS Tjokroaminoto, namun dalam perkembangan selanjutnya Soekarno memisahkan diri mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kini melebur diri menjadi PDIP.

Pertentangan dua kelompok ini makin kuat setelah ada penyataan sikap SI Merah yang menentang Pan-Islamisme, padahal slogan itu sejak awal jadi semangat umat Islam melawan penjajah.

Fakta ini sekaligus mempertegas dan jadi bukti bahwa kelompok komunis memang sejak awal terus menghadang perjuangan umat Islam dan memusuhi Islam.

Perpecahan di tubuh SI juga akhirnya melahirnya Islam garis keras. Salah satu murid sekaligus sekretaris pribadi HOS Tjokroaminoto bernama RM Kartosuwiryo, memilih jalurnya sendiri.

Dia mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) berdasarkan hukum syariah Islam dalam gerakan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sejak 1949 hingga 1962.(*)

Penulis: ROUDLON FAUZANI M.Pd, jurnalis senior dan pemerhati sejarah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini