Majelis Tabligh – Cuaca sore itu cukup cerah. Saya sedang berada di mobil, bersama seorang tamu dari Jakarta menuju Auditorium Prof. Abdulkahar Mudzakkir di Kampus Terpadu UII.
“Mas, orang bodoh bisa gak kuliah di UII?”, tanya Sang Tamu yang dialamatkan ke saya. Tentu, saya kaget mendengarkan pertanyaan seperti itu. Sebelum kekagetannya saya hilang, Sang Tamu melanjutkan.
“Kalau tidak boleh, terus mereka belajar di mana?”, tanyanya secara retoris. Saya akhirnya menjawab.
“Sebetulnya, jika kapasitas bangku tersedia memungkinkan, akan sangat baik, Prof. Hanya saja kapasitas kami dibatasi dengan rasio dosen dan mahasiswa. Negara yang mengatur itu. Kami sebetulnya bisa menambah kapasitas, wong PTS sudah terbiasa kerja keras.”
Prof. Anhar Gonggong
Sang Tamu tersebut adalah Prof. Anhar Gonggong yang saat itu mewakili tim verifikasi pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Prof. Kahar. Kunjungan tersebut terjadi pada 14 Agustus 2018.
Saya paham, isu yang diangkat Prof. Anhar adalah soal inklusivisme. Ini soal menjamin bahwa tidak ada anak bangsa yang tertutup aksesnya untuk berkembang dan tertinggal kereta kemajuan. Ini isu sangat penting, ketika ketimpangan masih sangat nyata di sekitar kita.
Memang, akhirnya bangku perguruan tinggi memang “hanya” tersedia untuk mereka yang pintar, atau paling tidak yang lolos seleksi. Padahal sampai saat ini, angka partisipasi kasar (APK) untuk pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat rendah. APK ini menunjukkan persentase orang berusia 19-23 tahun yang berkesempatan kuliah.
Badan Pusat Statistik menyebut angka 31,16% untuk 2022. Tetapi, Direktorat Pendidikan Tinggi memberi angka 36,16% untuk 2020. Mana yang benar? Saya tidak tahu.
Yang jelas, kita bisa simpulkan, kalau masih rendah, jika tidak ingin disebut sangat rendah. Bandingkan misalnya, dengan Malaysia yang mencapai 38%, Thailand 54%, Singapura 78% dan Korea Selatan 98,2%.
Semangat inklusivime memang perlu digaungkan dengan banyak kebijakan. Tetapi, sialnya, kita tanpa sadar sering kali ikut melanggengkan eksklusivisme, di banyak bidang.
Munculnya konsep sekolah bertarif eh bertaraf internasional misalnya, juga bagian membuat strata baru yang melawan inklusivisme. Layanan lain juga serupa. Ada kelas eksekutif, bisnis, dan ekonomi ketika kita memesan kereta api. Niatnya bisa jadi beragam, tapi motif ekonomi hampir selalu ada di dalamnya.
Fenomena inilah yang oleh Nelson Schwartz disebut dengan ekonomi tali beludru (velvet rope economy), yang mengkapitalisasi ketimpangan untuk kepentingan bisnis. Istilah ini diambil dari tali beludru, biasanya berwarna merah, yang sering menjadi penanda jalur khusus kalangan elite di banyak perjamuan.
Baca juga: Amalan Ringan Berbuah Balasan Berlipat-lipat
Pola pikir dan pendekatan baru perlu dicari dan dikembangkan, untuk memastikan bahwa ketimpangan akut semakin berkurang. Lapangan permainan menjadi semakin landai dan setiap orang dapat terlibat dalam permainan secara adil, termasuk dalam mengakses layanan pendidikan, kesehatan, serta layanan dasar kehidupan lainnya.
Penulis: PROF. FATHUL WAHID, S.T., M.Sc., Ph.D, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII)