Tauhid Murni Lahirkan Sikap Merdeka dan Egalitarianisme
Prof Abdul Mu’ti

Tauhid murni sebagai karakter pertama dari Islam Berkemajuan, melahirkan manusia yang memiliki pikiran, pandangan, dan sikap terbuka– merdeka.

Oleh karena itu, jika ada penjajah berarti bertentangan dengan tauhid. Satu-satunya atasan berhak disembah oleh manusia hanyalah Allah, sehingga apabila ada mahluk menindas mahluk yang itu menyalahi Tauhid murni itu tadi.

Karena itu, menurut saya, Pembukaan UUD 45 itu alenia satu adalah Tauhid. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan.

Tauhid murni juga melahirkan manusia yang optimistis. Karena mereka meyakini Allah adalah Tuhan segala-galanya. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan, selain itu Allah juga Maha Kaya.

Karena kuatnya optimisme di warga Muhammadiyah, terkadang sulit membedakan antara nekat dengan jihad.

Pasalnya, tidak sedikit warga Muhammadiyah yang ingin membangun sebuah Amal Usaha (AUM) dengan modal pas-pasan, tetapi berani memulai meski ada yang selesai tepat maupun lambat.

Pada sisi yang selanjutnya, tauhid murni juga melahirkan manusia yang egalitarianisme kemanusiaan. Untuk yang ini sangat terlihat jelas di tubuh Persyarikatan.

Di Muhammadiyah tidak ada klasifikasi yang sifatnya feodalistik. Meskipun demikian, sesama warga Muhammadiyah tetap saling menghormati.

Termasuk ketika memilih pimpinan tidak pernah ditanya silsilahnya sampai Kiai Dahlan atau tidak, apalagi ditanya silsilahnya sampai Nabi Muhammad.

Yang dilihat adalah dia punya integritas, dia punya kompetensi, dan berbagai aspek lain yang mendukung bagaimana dia menjadi seorang leader yang baik.

Egalitarianisme kemanusiaan menjadikan interaksi yang dibangun sesama manusia tetap menghormati, tetapi bukan penghormatan yang feodalistik.

Melainkan penghormatan sebagai amalan dari sifat akhlakul karimah. Egalitarianisme ini juga menjadi salah ciri dari komunitas yang maju.

Orang yang berkemajuan itu menggeser supremasi seseorang, dari supremasi yang bersifat nasabiyah (pernasaban) ke arah supremasi yang bersifat amaliah.

Namun demikian, bukan berarti diperbolehkan menghapus pernasaban seseorang. Karena bagaimanapun nasab atau silsilah keluarga harus tetap dijaga. (*)

(Disarikan dari pemaparan Prof Abdul Mu’ti, Sekum PP Muhammadiyah, yang dirilis muhammadiyah.or.id)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini