Merujuk berbagai sumber baik itu Kitab Tafsir dan penjelasan ulama-ulama, kata wasatha memiliki lima pengertian, salah satunya adalah ummatun adilun.
Ummatun adilun atau umat yang adil memiliki dua pengertian. Pertama, umat yang senantiasa bersikap adil atau objektif dalam berbagai hal.
Karena menegakkan peraturan sebagaimana mestinya, sehingga pengertian pertamanya adalah adilun fi hukmi atau penegakan hukum.
Sehingga ketika seseorang menegakkan hukum itu dia tidak diskriminatif, tidak menegakkan hukum itu dengan melihat siapa yang menjadi subjek atau objek hukum.
Manusia sangat mungkin terjebak subjektivitas ketika menetapkan suatu hukum karena atas dasar suka atau tidak suka.
Sebab itu adalah manusiawi. Bahkan rasulullah juga pernah mengalami atau berada pada posisi itu.
Suatu ketika, Rasulullah mengambil keputusan yang sangat subjektif, ketika ada masalah antara seorang sahabat dengan orang yahudi.
Karena orang Yahudi ini sering menjadi biang kerok dari setiap masalah di Madinah, maka begitu ada masalah antara orang Yahudi dengan sahabat, Rasulullah memberikan putusan hukum secara subjektif dengan menyatakan yang salah adalah orang Yahudi.
Tetapi kemudian dalam kasus itu, ternyata yang benar itu orang Yahudi, sahabat itu yang salah. Sehingga kemudian Allah mengingatkan Nabi Muhammad dengan firman-Nya dalam surat Al Maidah ayat 8:
“Jangan sampai kebencianmu kepada suatu kaum itu membuat kamu berlaku tidak adil, dan berlaku adillah kamu karena sesungguhnya berlaku adil itu lebih dekat kepada takwa.”
Maka, penerapan pandangan tengahan (wasatha) dalam perkara hukum memiliki ciri objektif.
Keputusan yang dibuat melihat aturan, bukan melihat subjek atau objek hukum. Sebab semua memiliki kedudukan sama di mata hukum.
Umat yang Berilmu
Pengertian kedua terkait umat yang adil adalah sebagai umat yang berilmu.
Seseorang bersikap adil, objektif dan ilmiah ini disebabkan karena ilmu yang dimilikinya.
Sehingga secara teoritik sebenarnya seseorang itu semakin luas ilmunya semakin luas wawasannya, maka dia menjadi orang yang objektif.
Dengan keluasan ilmu, seseorang akan memiliki banyak sudut pandangan dalam mengambil keputusan.
Keputusan akan diambil secara hati-hati dan seksama. Umat yang adil juga menjadi kunci kemajuan.
Karena orang yang berilmu itu berani menegakkan objektivitas ilmiah dan prinsip-prinsip ilmiah. Di sinilah perbedaan antara orang yang alim, dengan orang yang adil.
Orang yang berilmu itu akan senantiasa mengambil keputusan dengan ilmunya, dan orang yang jahil itu akan mengambil keputusan dengan nafsunya. (*)
Harus Seimbang
Merujuk pada Al Baqarah ayat 238, bahwa wasatha dapat dikaitkan dengan salat wustha, atau salat pertengahan dan juga konsep umat terbaik. Islam sebagai ajaran agama yang terbaik seringkali disebut sebagai wasathiyah.
Dalam penjelasan Ibnu Katsir, Islam merupakan agama yang ajarannya seimbang antara dunia dan akhirat.
Wasath artinya juga seimbang antara yang duniawi dengan yang ukhrawi, antara yang material dengan yang spiritual, antara yang individual dengan sosial dan berbagai ajaran keseimbangan yang lain.
Karena diberikan oleh Allah ajaran atau syariat yang terbaik, maka umat Islam juga seharusnya menjadi umat yang terbaik. Penyebutan umat Islam sebagai yang terbaik juga ditegaskan dalam Surat Ali Imran ayat 110.
Merujuk Tafsir Ibnu Katsir, Mu’ti menyebut keseimbangan di sini adalah tidak condong hanya kepada salah satu sisi dari material maupun spiritual. Muslim tengahan selalu menyeimbangkan antara dunia dan akhirat.
Salat Wustha
Beberapa ulama menafsirkan bahwa Salat Wustha ini adalah Salat Asar. Mu’ti mengungkapkan itu jika dihitung dari waktu salat subuh, zuhur, asar, maghrib dan isya, maka tengahnya dari jadwal waktu salat itu adalah asar.
Salat asar menjadi waktu yang sering ditinggalkan oleh kaum muslim selain salat subuh. Lebih-lebih pada Bulan Ramadan, sering kali salat subuh ini terlewat karena setelah melakukan sahur, kemudian tertidur.
Apalagi kalau sahurnya itu overfeed, porsinya agak banyak karena menyediakan ruang supaya nanti sehari tidak makan, sehingga sahurnya itu over, maka setelah itu kemudian menjadi slipper.
Oleh karena itu, merujuk pada ajaran keseimbangan dalam Agama Islam, maka seharusnya seorang muslim yang menjalankan ibadah sahur juga menerapkan ajaran tersebut.
Hal itu agar ibadah-ibadah yang lain selama Bulan Ramadan tetap bisa dilaksanakan dengan baik dan seimbang. (*)
(Disarikan dari cemarah Prof Abdul Mu’ti di acara Pesantren Digital Masjid Telkomsel Taqwa, Jakarta, 11 April 2023).