Ketika Umar Melarang Anaknya Dicalonkan Jadi Khalifah
Ilustrasi: u-report
UM Surabaya

*) Oleh: Abdul Hafiz,
Wakil Ketua PWM Bengkulu

“Jika deadlock, minta anakku Abdullah bin Umar menentukan siapa yang jadi khalifah tetapi anakku itu tidak boleh dicalonkan jadi khalifah.”

Demikian pesan Khalifah Umar bin Khathab kepada enam orang sahabat yang ia tunjuk menjadi tim formatur untuk memilih dan mengangkat seseorang pengganti dirinya.

Dalam keadaan sakit akibat tikaman belati, menjelang kematiannya, Umar masih memikirkan keberlangsungan negara. Ia masih cawe-cawe dalam urusan pemilihan penggantinya.

Namun, cawe-cawenya Umar jauh dari ambisi pribadi dan ambisi keluarga. Untuk menjadi anggota tim, ia tunjuk Sahabat-sahabat Nabi saw terkemuka yaitu mereka yang mendapat kabar gembira bahwa mereka masuk surga.

Sahabat-sahabat Nabi saw yang diberi kabar gembira masuk surga berjumlah sepuluh orang; Abu Bakar al-Shiddiq,  Umar bin Khathab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, al-Zubair bin al-‘Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Sa’ad bin al-Waqqash, dan Sa’id bin Zaid.

Namun, yang menjadi anggota tim formatur hanya enam orang karena dua orang yang disebut pertama sudah meninggal dan dua orang yang disebut terakhir berhalangan.

Oleh karena komposisi anggota formatur berjumlah genap, maka untuk mengantisipasi deadlock Umar meminta supaya anaknya, Abdullah bin Umar, menjadi penentu, tetapi ia bukan anggota tim formatur.

Bilamana ada dua calon khalifah mendapat dukungan berimbang, maka yang menjadi khalifah adalah calon yang ditunjuk oleh Abdullah bin Umar.

Tampaknya pedoman yang dibuat Umar itu tidak diikuti. Atas inisiatifnya sendiri, ketika terjadi deadlock, Abdurrahman bin Auf mendatangi secara terpisah dua calon yang memperoleh dukungan yang sama besar untuk meminta komitmen masing-masing terhadap tradisi kepemimpinan yang telah dibangun oleh dua khalifah terdahulu.

Usman bin Affan setuju dengan tuntutan Abdurrahman bin Auf. Sementara Ali bin Abi Thalib menolaknya karena baginya setiap khalifah harus memaksimalkan ijtihadnya.

Abdurrahman bin Auf menentukan Usman menjadi khalifah setelah Umar. Abdurrahman tampaknya tidak menyadari bahwa tindakannnya itu telah membuka pintu bagi nepotisme dan politik dinasti masuk ke dalam Islam.

Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, tidak ada lagi pemerintahan yang demokratis di dunia Islam dan tidak ada lagi kepala negara yang lahir dari pemilihan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini