Peran Nyata Muhammadiyah untuk Kemajuan Bangsa
UM Surabaya

Bangsa ini berterima kasih kepada warga dan simpatisan Muhammadiyah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena telah berkontribusi kepada umat dan bangsa.

Namun, rasa terima kasih itu seolah sirna, hanya lantaran seorang peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRINS) yang bernama AP Hasanudin.

Dia telah melecehkan tidak kurang dari 60 juta warga Muhammadiyah se-Indonesia dengan melakukan ancaman dan pelecehan, penghinaan terhadap warga Muhammadiyah.

Sungguh menyentakkan hati, di hari yang fitri muncul berita yang membuat luka hati warga Muhammadiyah se-Indonesia bahkan di seluruh dunia.

Apa sebenarnya akar masalah dari ancaman ini? Sepanjang sejarah Orde Baru hingga Reformasi 98, tidak pernah ada ancaman semacam ini.

Baru kali ini ada elemen pegawai resmi negara (ASN) yang digaji resmi dari uang rakyat bersumber dari APBN, melakukan ujaran kebencian.

Mengutip pendapat Prof Mahfud MD, terdapat dua ormas Islam besar menopang NKRI sepanjang perjalanan sejarah Indonesia sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.

Karena itu, hemat saya bangsa ini patut bersyukur atas kontribusi tokoh Muhammadiyah sebagai kader umat dan kader bangsa Indonesia.

Pertama, secara historis Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912 di Jogjakarta dan kedua NU yang berdiri 1926 di Surabaya. Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan (lahir 1868 – wafat 1923) dan Pendiri NU, KH. Hasyim Asyari (lahir 1871 – wafat 1947).

Kedua tokoh Islam ini jika dilacak biografinya masih memiliki hubungan darah, tali temali kekerabatan yang sampai ke baginda Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wassalam.

Kedua, peran besar Muhammadiyah dan NU yang signifikan untuk mewujudkan Kemerdekaan Indonesia merupakan fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri.

Kader Penggerak Republik

Berdiri sejak 18 November 1912, Muhammadiyah memiliki peranan signifikan, karenanya bangsa ini sudah sepatutnya berterima kasih kepada Muhammadiyah.

Dengan umur dan sepak terjang, pengalaman yang lebih tua dari Indonesia, Muhammadiyah sejak lama menjadi penjaga moral dan kedaulatan bangsa dari rongrongan penjajah dan kolonialisme serta kapitalisme global.

Sebagai organisasi Islam yang besar, Muhammadiyah telah banyak melahirkan kader yang jadi penggerak bagi Republik.

Gerakan Muhammadiyah tidak hanya bertumpu kepada idealisme, akan tetapi juga pada semangat gerakan membangun tatanan sosial dan pendidikan, kesehatan, dakwah agar masyarakat lebih progresif dan aktif membina masyarakat dari kota hingga ke desa.

Mari kita baca sejarah proklamator Republik Indonesia dari Ir Soekarno, hingga ulama karismatik Buya Hamka, merupakan kader-kader organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 108 tahun yang lalu itu.

Sebagai komponen bangsa kita harus berterima kasih kepada Muhammadiyah karena telah melahirkan banyak kader umat dan kader bangsa yang berjasa begitu besar bagi Bangsa Indonesia.

Antara lain sejumlah kader atau tokoh Muhammadiyah yang menjadi pahlawan nasional:

1. KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Pendiri Muhammadiyah, sebagai pelopor kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.Dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Presiden 27 Desember 1961.

2. Siti Walidah (1872-1946), pendiri Aisyiah. Aktif dalam pembebasan kaum perempuan dari kebodohan dengan melalui wadah: Sopo Tresno, Wal’Ashri, dan Maghribi School. Dikukuhkan melalui SK Presiden 22 September 1971

3. Ir. Soekano (1901-1970), guru Sekolah Muhammadiyah di Bengkulu. Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu. Presiden Pertama Republik Indonesia, Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Ketua Panitia Perancang UUD 1945 dan Ketua PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dikukuhkan melalui SK 23 Oktober 1986

4. Fatmawati (1923-1980), aktivis Nasyiatul Aisyiyah (NA), putri dari Hassan Din (Sekretaris Muhammadiyah Bengkulu) dan Siti Chadijah (Aktivis Aisyiyah Bengkulu) sebagai ibu Negara Indonesia Presiden Soekarno. Penjahit bendera pusaka Merah Putih yang dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada 17 Agustus 1945. Dikukuhkan melalui SK Presiden 4 November 2000.

5. KH. Mas Mansur (1896-1946), Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Surabaya. Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Pertama. Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah Pemrakarsa berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy’ari dan Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU) serta berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya. Dikukuhkan melalui SK 26 Juni 1964.

6. AR Baswedan (1908- 1986), mubalig Muhammadiyah sejak Mas Mansur menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya. Pengasuh Kolom Mercusuar, Harian Milik Muhammadiyah. Inisiator Kongres Peranakan Arab pada tahun 1943 kemudian memimpin Partai Arab Indonesia (PAI) dan Anggota BPUPKI.

7. Buya AR Sutan Mansur (1895 – 1985), pahlwan perintis kemerdekaan Indonesia. Ketua Umum Muhammadiyah 1952-1956 dan 1956-1959. Tokoh pendiri Universitas Muhammadiyah Jakarta. Guru Sumatera Thawalib, pendiri pesentren Kuliatul Mubalighin Padang Panjang, Sumatera Barat. Anggota Konstituante sejak berdiri hingga dibubarkan. Pembimbing Rohani TNI Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal TNI tituler memimpin perlawanan Agresi Belanda I dan II di Sumatera melalui perlawanan umat Islam dan Alim Ulama se-Sumatera.

8. H. Fakhrudin (1890-1929), perintis penerbitan surat kabar Soewara Moehammadijah sekaligus Pemimpin Redaksi Pertama. Perintis berdirinya Badan Penolong Haji Indonesia. Perunding dalam Negosiasi untuk Perlindungan Jamaah Haji dari Nusantara (Indonesia, 1921- 1929). Dikukuhkan melalui SK 26 Juni 1964.

9. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) (1908-1981). Ketua Muhammadiyah Padang Panjang, hingga diangkat menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama.Dikukuhkan melalui SK 7 November 2011.

10. Ir. H. Djuanda Kartawijaya (1911-1963), guru SMA Muhammadiyah Jakarta. Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Sumbangannya terbesar adalah Deklarasi Djuanda 1957 yang menghasilkan laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Namanya diabadikan sebagai Bandar Udara Internasional Juanda di Surabaya, Jawa Timur. Dikukuhkan melalui SK Presiden 29 November 1963.

11. Panglima Besar Jenderal Sudirman (1916-1950). Guru dan Kepala Sekolah Hollandsch-Inlansche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap. Menteri Daerah Hizbul Wathan (Kepanduan Muhammadiyah) Banyumas. Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Karesidenan Banyumas. Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Pertama (TKR, Tentara Keamanan Rakyat). Dikukuhkan melalui SK 10 November 1964.

12. Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954). Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah, Ketua Mejelis Tarjih Muhammadiyah, hingga Ketua HB Muhammadiyah 1944-1953. Tokoh Kunci Diterimanya Penghapusan 7 Kata Piagam Jakarta, sehingga Sila Pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa (YME).Dikukuhkan melalui SK 4 November 2015.

13. Kasman Singodimejo (1904-1982). Ketua Muhammadiyah Cabang Jakarta; Wakil Ketua PP Muhammadiyah (Kantor Jakarta). Ketua KNIP pertama 1945-1950 (Komite Nasional Indonesia Pusat: cikal bakal DPR RI).Pelopor pembentukan Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI. Pemimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR). Tokoh Kunci Penghapusan 7 Kata Piagam Jakarta, melobi Ki Bagus Hadikusumo sehingga Sila Pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa (YME). Dikukuhkan melalui SK 6 November 2018.

14. Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir (1907-1973).Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1942 – 1962.Pada tahun 1945 terlibat aktif dalam BPUPKI dan ikut mencanangkan Piagam Jakarta. Salah satu dari Sembilan orang anggota panitia kecil yang bertugas menentukan dasar negara Indonesia.
Melakukan diplomasi untuk pengakuan kedaulatan Indonesia. Perjuangannya berbuah dengan pengakuan kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya oleh Mesir pada 18 November 1946.Dikukuhkan melalui SK 7 November 2019.

15. Mr. Teuku H. Moehammad Hasan (1906-1997). Motor penggerak dan pelopor pendirian 8 cabang Muhammadiyah di wilayah Aceh. Wakil Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Desember 1948 – Maret 1949.Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (Mendikbud) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia untuk wilayah Sumatera, sekaligus Gubernur Pertama Sumatera.
Dikukuhkan melalui SK 3 November 2006.

16. Lafran Pane (1923-1991). Santri di Pesantren Muhammadiyah Sipirok. Siswa di HIS Muhammadiyah lanjut ke MULO Muhammadiyah; Dosen Akademi Tabligh Muhammadiyah (FAI UMY). Ayahnya pendiri Muhammadiyah di Sipirok. Pejuang kemerdekaan melalui Barisan Pemuda Gerindo dan Indonesia Muda. Pendiri organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dikukuhkan melalui SK 6 November 2017.

17. Haji Agus Salim (1884-1954). Ketua SI (Syarikat Islam) setelah HOS Tjokroaminoto. Anggota Panitia Sembilan BPUPKI 1945. Anggota Muhammadiyah, dalam forum pernah Mengusulkan Muhammadiyah sebagai Partai Politik, tetapi Ditolak KHA Dahlan. Dikukuhkan melalui SK 27 Desember 1961.

18. Gatot Mangkupraja (1898-1968) Wakil Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Memprakarsasi pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah air (PETA). Dikirim mengikuti Kongres Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan di Brussel, Belgia.Dikukuhkan melalui SK Presiden 5 November 2004.

19. Nani Wartabone (1907-1986). Bersama Imam A Nadjamuddin berinisiatif mendirikan Grup Muhammadiyah Suwawa. Kepala pemerintahan di Gorontalo, Kepala Daerah Sulawesi Utara. Anggota MPRS, Anggota DPRGR, Anggota Dewan Perancang Nasional, Anggota DPA. Dikukuhkan melalui SK 6 November 2003.

20. Dokter Soetomo. Sejak tahun 1925 hingga akhir hayatnya menjadi medisch adviseur (penasehat urusan kesehatan) Muhammadiyah.

21. R. Otto Iskandar Dinata. Guru di sekolah Muhammadiyah di Jakarta.
Dikukuhkan melalui Keppres No.088/TK/1973.Masih banyak lagi tokoh Muhammadiyah yang belum dapat dimuat dalam tulisan ini, yang begitu besar jasa dan perjuangannya bagi Indonesia. Tantangan ke depan mampukah kita melahirkan generasi yang menjadi pahlawan nasional ? Tentunya jawabnya kembali kepada seluruh elemen bangsa.

Menerima Perbedaan

Kembali kepada akar permasalahan, yakni terjadinya perbedaan penetapan Hari Raya Idil Fitri 1444 H sudah bertahun-tahun terjadi, sejak zaman Orde Baru hingga zaman Reformasi.

Dan semua pihak dapat menerima dengan baik perbedaan ini. Yang tidak perlu diartikan sebagai tidak mematuhi penguasa atau tidak seirama.

Hal yang lumrah dalam perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam.

Akhirnya, atas nama keluarga dan aktivis Muhammadiyah menghaturkan permohonan maaf, minal aidin wal faidzin.

Semoga Idil Ftri ini menjadi kekuatan pemersatu bagi kita sebagai bangsa menuju perubahan dan perbaikan ke arah lebih baik lagi.

Seraya memanjatkan doa kepada Allah SWT semoga terwujud kemaslahatan umat dan bangsa demi terwujudnya cita cita Proklamasi 1945. (*)

Penulis: Amirsyah Tambunan, Sekjen MUI dan Dosen UIN Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini