Tidak selalu apa yang kita inginkan itu terjadi dan tidak selalu apa yang tidak kita inginkan justru itu yang terjadi. Ibnu Athaillah As-Sakandari memberikan nasihat:
“أنْتَ حُرٌ مِمّا أنْتَ عَنْهُ آيِسٌ، وَعَبْدٌ لِما أنْتَ لَهُ طامِع”ٌ. (ابن عطاء الله السكندري)
“Kamu menjadi manusia bebas terhadap sesuatu yang tak pernah kamu inginkan, dan kamu menjadi budak terhadap sesuatu yang kamu ambisikan.”
Dalam suatu hadis disebutkan bahwa manusia bisa menjadi “budak harta” atau “budak uang” karena tamak dan rakusnya mereka dengan harta, menghalalkan segala cara, korupsi, kolusi dan nepotisme…
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﻳْﻨَﺎﺭِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﺭْﻫَﻢِ، ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﺼَﺔِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﻠَﺔِ ﺇِﻥْ ﺃُﻋْﻄِﻲَ ﺭَﺿِﻲَ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻂَ ﺳَﺨِﻂَ
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah dan khamilah (sejenis pakaian yang terbuat dari wool/sutera). Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari)
Maksud dari “budak harta” adalah harta dan uang tersebut memperbudak dan memerintahkan manusia untuk mencari mereka (uang). Manusia yang tamak akan patuh saja dengan perintah harta atau uang tersebut. Uang akan “berkata”:
“Carilah aku dan kerahkan semua tenaga kalian” (manusia tamak pun patuh pada uang).
Uang “berkata” lagi:
“Carilah aku lagi, belum cukup, engkau perlu kerja sampai malam dan lembur sampai libur akhir pekan” (manusia tamak pun patuh pada uang).
Uang “berkata” lagi:
‘Carilah aku, engkau perlu mengorbankan sedikit kehormatan dirimu, engkau harus mengorbankan sedikit prinsip hidupmu, agar bisa dapat uang di zaman ini’ (manusia tamak pun patuh pada uang).
Selama uang yang didapatkan tersebut belum dipakai dan hanya “dikoleksi” saja, misalnya berupa tanah atau tabungan yang mengendap lama, maka hakikatnya manusia telah diperbudak oleh harta dan menjadi budak harta, karena manusia demikian patuh pada harta.