Kejujuran yang Selalu Dirindukan
Ilustrasi: the74million.org
UM Surabaya

Oleh: Agus Wahyudi

Saya selalu senang membaca kisah-kisah kejujuran. Apa pun kejadiannya. Yang dilakukan oleh mereka yang selalu memegang teguh prinsip-prinsip kebaikan hidup.

Terutama dari orang-orang kecil yang sederhana namun memiliki komitmen kuat untuk selalu berbuat kebaikan. Mereka yang tidak silau dengan harta, pangkat, dan kedudukan.

Orang-orang kecil yang menjaga hasrat terhadap sesuatu yang bukan miliknya. Mereka yang mengajarkan arti kejujuran dan kebaikan kepada banyak orang.

Sebagai ilustrasi, saya ingin menukil peristiwa nyata yang menginspirasi. Dua orang jujur yang mengembalikan barang temuan yang bukan miliknya.

Yang pertama namanya, Mujenih. Dia petugas kebersihan OTC Stasiun Bojong Gede.

Mujenih menemukan kantong plastik di dalam gerbong KRL. Tepatnya di gerbong ketiga dari belakang yang berada Stasiun Bogor.

Kejadiannya pada 6 Juli Tahun 2020, saat masih ramai-ramainya pandemi covid-19.

Kala itu, Mujenih melihat ada kantong plastik tertinggal, lalu dia amankan.

Awalnya, Mujenih tak tahu isi dalam kantong plastik tersebut. Dikiranya berisi sampah. Kantong plastik itu juga sempat ditentang-tendang penumpang.

Betapa kagetnya dia, setelah membuka kantong plastik, ternyata di dalamnya berisi uang.

Mujenih lalu menyerahkannya ke passenger service (PS) di Stasiun Bogor. Belakangan, diketahui kalau uang jumlahnya Rp 500 juta.

Petugas Stasiun Bogor kemudian mengumumkan kepada pengguna KRL yang merasa kehilangan barang untuk datang ke ruang informasi.

Tak lama berselang, datang seorang laki-laki tua yang mengaku telah kehilangan barang berupa kantong plastik hitam dan berisi uang.

Setelah melalui beberapa proses untuk memastikan barang tersebut adalah milik laki-laki tua itu, petugas kemudian menyerahkan uang setengah miliar itu kepadanya. Penyerahan uang disertai dengan tanda terima.

Cerita temuan uang itu pun viral di media sosial. Tak sedikit netizen yang memberi apresiasi atas kejujuran Mujenih.

Mujenih pun mendapatkan buah kebaikan dari kejujurannya. Dia kemudian diangkat menjadi karyawan tetap atas jasanya tersebut.

Satu lagi, namanya Mulyadi. Dia petugas kebersihan Mal Kota Kasablanka (Kokas). Mulyadi menemukan tas di toilet. Tanpa banyak berpikir, dia pun langsung memberikannya kepada petugas customer service.

Sesampainya di sana, tas itu pun dibuka. Ternyata berisi Rp 100 juta. Tidak lama kemudian, pemilik uang pun datang dan mengambilnya di customer service mal.

Atas kejujurannya, ia pun mendapatkan penawaran dari atasannya untuk naik pangkat menjadi pengawas, namun dia menolak.

Kisah penemuan uang oleh Mulyadi ini menyebar lewat surat elektronik. Peristiwa itu terjadi pada 26 Mei 2016.

Mulyadi akhirnya diajak makan bersama oleh bos perusahaan di tempat ia bekerja.

***

Biduk bangsa ini terus terkoyak. Krisis kepercayaan publik mendera anak-anak negeri. Kekecewaan terhadap banyak pemangku kekuasaan saat ini, perlahan tapi pasti, ekskalasinya terus membesar.

Kita tak bisa memungkiri fakta jika Indonesia masih tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut korupsi yang terjadi sekarang jauh lebih buruk jika dibandingkan masa Orde Baru.

Penuntasan kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Tanah Air tak berjalan maksimal. Modus yang polanya juga makin berkembang.

Desentralisasi daerah belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Otonomi daerah yang berjalan tertatih-tatih, sekarang banyak diasumsikan sebagai peluang emas untuk merengguk kekayaan sebanyak-banyaknya.

Otonomi tak ubahnya mengusung korupsi dari pusat ke daerah. Kini, sudah berapa banyak kepala daerah yang akhirnya dikerangkeng lantaran kasus korupsi?

Penegakan hukum di Indonesia merupakan conditio sine qua non (syarat wajib) yang harus dijalankan, sekarang banyak dicibir menjadi barang langka.

Tak banyak pembuktian konkret yang bisa ditunjukkan dari kinerja pemerintah menegakkan supremasi hukum. Termasuk di antaranya penuntasan masalah korupsi.

Publik makin dibawa dalam suasana penuh kecurigaan, prasangka, dan fitnah. Sehingga dalam setiap keputusan hukum pada akhirnya muncul asumsi, jika hukum telah tersubordinasi kepentingan politik.

Publik juga sangat mengharapkan ganjaran setimpal buat para kleptokrat kelas kakap. Aparat hukum harus mampu membongkar seluruh harta kekayaan dan mengembalikannya kepada negara.

Ini merupakan konsekuensi logis jika ingin negeri ini terbebas dalam cengkeraman ketidakpastian. Selaras dengan esensi hukum yang tidak pandang bulu dan berlaku untuk semua.

***

Dua fenomena di atas memunculkan pemeo: jika kejujuran makin langka di negeri ini, sementara korupsi kian porak-poranda.

Islam tegas melarang perkara ini. Pencurian dan apa pun bentuknya adalah kejahatan besar. Tindakan yang sangat tak bisa ditoleransi. Larangan Allah keras terhadap perilaku buruk ini.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil. (QS. An Nisa’ (4): 29).

Maraknya kejahatan ini tentu menjadi pekerjaan berat bagi semua komponen bangsa. Tak terkecuali Muhammadiyah yang menjadi organisasi keagamaan terbesar dengan jutaan anggota.

Sebagai organisasi tertua di Tanah Air, Muhammadiyah harus menjadi pelopor perubahan. Muhammadiyah harus bisa menduduki garda depan untuk memperbaiki kekeruhan kondisi bangsa.

Bangsa ini harus dilepaskan dari bahaya frustasi. Di mana banyak generasi memandang sinis masa depannya. Seolah tak ada secercah asa untuk melihat Indonesia lebih gemilang.

Bangsa ini sepatutnya dikuatkan lagi tentang arti keyakinan akan perubahan. Di mana perubahan adalah pilihan mutlak.

Tidak ada yang tidak mungkin dilakukan jika kita mau bertindak. Berikhtiar dan menginsyafi diri untuk menjadi lebih baik. Karena perubahan menjadi salah satu karakter manusia yang sehat.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du 13:11)

Upaya perbaikan itu sepantasnya melahirkan produk-produk progresif. Yang sarat dengan kemajuan dan mampu membaca tanda-tanda zaman.

Yang memiliki energi besar untuk segera keluar dari keterpurukan. Mencintai negeri ini dengan amal, begitu istilah Eep Saefullah Fatah, pengamat politik Universitas Indonesia.

Kita tentu senang dengan gerakan anak-anak muda yang melakukan kreasi, inovasi, dan berusaha tidak menggantungkan hidup pada kekuasaan.

Mereka kita harapkan terlahir sebagai better generations. Mereka yang tidak ingin hidup dalam romantisme masa lalu yang perih dan mengenaskan.

Masa lalu yang diselimuti kabut tebal hingga membayangi masa depannya. Masa lalu yang membawa kecemasan hati dan kekacauan pikiran.

Better generations selalu mempertahankan nilai-nilai kebenaran dengan parameter berjuang.

Di saat banyak orang berlomba merebut kekuasaan, mereka berkompetisi membuka lapangan kerja baru.

Bergumul dengan gagasan-gagasan besar. Melahirkan karya-karya fenomenal, membangun cakar bisnis, dan well informed terhadap denyut kemajuan zaman. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini