Menyempurnakan Cinta kepada Allah
Ilustrasi foto: shutterstock
UM Surabaya

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

Dari Anas, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tiga hal, barang siapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka.” (HR Bukhari: 16)

Kandungan Hadis:

Secara bahasa, iman berarti membenarkan (tashdiq), sementara menurut istilah adalah ”mengucapkan dengan lisan, membenarkan dalam hati dan mengamalkan dalam perbuatannya”.

Ada pun iman menurut pengertian istilah yang sesungguhnya ialah kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.

قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ

“Tiga hal, barang siapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman.”

Dalam hadis ini dipakai istilah حَلاَوَةُ الإِيمَانِ (manisnya iman). Dalam ilmu balaghah, istilah seperti ini disebut isti’arah takhyiliyyah, yaitu majaz (kiasan) yang dibangun dari tasybih (penyerupaan) imajinasi. Semacam majas metafora dalam bahasa Indonesia. Bahwa iman itu berasa manis.

Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, ini mengindikasikan bahwa tidak semua orang bisa merasakannya. Sebagaimana manisnya madu hanya akan dirasakan oleh orang yang sehat.

Sedangkan orang yang sakit kuning tidak mampu merasakan manisnya. Demikian pula manisnya iman. Ia hanya didapatkan oleh orang-orang yang imannya sehat.

Di antaranya adalah yang memenuhi kriteria yang disebutkan dalam penggalan hadis berikutnya.

Manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) juga mengingatkan kita ibarat pohon, iman itu memiliki buah manisnya bisa dirasakan oleh seorang mukmin.

Tentu saja pohon baru bisa berbuah ketika akarnya teguh dan pohonnya kuat. Jadi ia tidak mudah dirasakan oleh setiap orang.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ * تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. Ibrahim : 24-25)

Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) merasakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai rida Allah, lebih mengutamakan rida-Nya dari pada kesenangan dunia, dan merasakan lezatnya kecintaan kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا

Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya.
Inilah hal pertama yang membuahkan manisnya iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi selainnya.

Seorang mukmin haruslah menyempurnakan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, baru ia mendapati manisnya iman.

Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang selainnya.

Manusia akan merasakan kebahagiaan besar ketika sedang mencintai. Maka manisnya iman menjadi buah yang dirasakan seorang mukmin ketika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sempurna.

Inilah yang menjelaskan mengapa Bilal sanggup menahan panasnya pasir dan terik surya, beratnya batu yang menindihnya, serta hinaan menyakitkan Umayyah dan kawan-kawannya.

Dalam kondisi demikian, Bilal tetap melantunkan manisnya iman melalui lisannya: “ahad, ahad…”

Manisnya iman buah cinta ini pula yang membuat Khabab bin Al Art seakan tak merasakan luka-luka menganga di tubuhnya yang disalib.

Maka ketika diminta pendapatnya bagaimana jika Rasulullah yang menggantikannya, ia menjawab dalam nada manisnya iman: “Bahkan aku tak rela jika kaki Rasulullah tertusuk duri”

Dalam manisnya iman pula, sahabat-sahabat Ansar rela pulang tangan kosong tanpa ghanimah dalam Perang Hunain.

Isak tangis mengharu biru ketika mereka tersadar bahwa Rasulullah hendak meneguhkan Islam para muallaf Makkah.

Sementara mereka pulang membawa Rasulullah, biarlah orang lain pulang membawa unta dan kambing.

وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ

Dan mencintai seseorang semata-mata karena Allah

Jika kecintaan kepada Allah adalah yang pertama dan tidak boleh terkalahkan oleh selainnya, demikian pula Rasulullah sebagai manusia yang paling dicintai.

Bukan berarti kita tidak diperkenankan mencintai sesama. Cinta itu fitrah manusia. Maka mencintai kedua orang tua, anak, saudara, sahabat, dan sesama mukmin juga dibutuhkan.

Dan tatkala cinta itu karena Allah semata, maka iman akan manisnya iman akan bisa dirasakan.

Generasi pertama umat ini adalah generasi yang sukses dalam membina cinta karena Allah ini. Maka dengan cinta lillah, suku Aus dan Khazraj yang semula bermusuhan menjadi bersaudara di bawah satu bendera: Ansar.

Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman. Lalu, muhajirin dan anshar yang belum pernah bersua pun, tiba-tiba menjadi saling berbagi. Membagi harta menjadi dua, membagi kebun dan rumah agar bisa sama-sama hidup layak dalam perjuangan bersama. Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman.

وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

Dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka. Jika dua hal yang pertama adalah pekerjaan mencintai, hal ketiga yang membawa manisnya iman ini adalah pekerjaan sebaliknya: membenci.

Yakni membenci kekufuran. Khususnya kekufuran yang telah ditinggalkannya dan diganti dengan Islam.

Dalam riwayat Muslim, redaksi hadis tentang manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) ini pada poin ketiga berbunyi :

وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Dan benci kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah, sebagaimana kebenciannya dilempar ke dalam api neraka

Dan itulah yang, lagi-lagi, kita dapati pada generasi sahabat Nabi. Maka ketika Sayyid Quthb memotret tiga karakter sahabat yang menjadi faktor utama keberhasilan mereka, salah satunya ia catat:

“Saat mereka masuk Islam dan mendapat Alquran seketika mereka melepas seluruh kejahiliahan”

Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan juga mengingatkan para sahabat agar jangan sampai kembali kepada kejahiliahan, meskipun hanya sebagian sifatnya.

Maka, Rasulullah mengingatkan kaum Anshar ketika hampir saja mereka bermusuhan kembali antara suku Aus dan Khazraj seperti perang Bu’ats.
Rasulullah juga pernah mengingatkan Abu Dzar tatkala berselisih dengan Bilal lalu mencelanya dengan nada sentimen kesukuan.

“Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliah” tegur Rasulullah yang selalu dikenang Abu Dzar. Dan sejak saat itu ia lebih mencintai dan menghormati Bilal. (*)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini