Di usia ke-77 tahun, Indonesia dianggap memiliki sekian pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan jika Indonesia ingin menjadi negara unggul.
Masalah pertama adalah daya saing sumber daya manusia. Di kawasan ASEAN saja, Human Development Indonesia berada di bawah enam negara ASEAN.
Di tingkat global, kecerdasan intelektual bangsa Indonesia menempati posisi 113 dunia, tidak jauh dari Timor Leste dan Papua Nugini.
Ini terjadi karena problem kemiskinan, kesehatan dan faktor lingkungan. Masih ada stunting dan lain sebagainya.
Saya sengaja mengajak kita agar membuka neraca Indonesia tersebut bahwa meski ada positifnya, ada anugerahnya, tapi ada juga kekurangannya agar kita menjadi bangsa yang cedas dan berani jujur pada diri sendiri.
Jika pemerintah harus serius bekerja mengatasi masalah sumber daya manusia (SDM) ini.
Potensi yang ada sepatutnya dikapitalisasi dan diakselerasi hingga SDM Indonesia berkarakter kompetitif dan unggul.
Pemerintah juga tidak boleh bersikap santai dalam mengelola SDM dengan membesar-besarkan prestasi yang telah dicapai bangsa Indonesia.
Sebab selain bersifat ilusi, hal itu juga melenakan target Indonesia untuk bersaing dan unggul di ranah global.
Jadi layak kalau kita, seluruh warga bangsa, pemerintah dan seluruh komponen untuk muhasabah sekaligus mujahadah. Melihat ke dalam lalu bekerja sungguh-sungguh.
Kalau sekadar hanya untuk bersenang-senang, kita insya Allah bisa mengunggulkan segala kelebihan-kelebihan Indonesia.
Tapi hati-hati kalau itu yang terjadi, kita tidak bisa bangkit sebagai sebuah bangsa dan lalu introspeksi kenapa itu terjadi?
Saya mengutip beberapa beban mendasar seperti utang negara yang mencapai Rp 8.000 triliun, hingga masalah korupsi yang mengakar.
Indeks korupsi bangsa Indonesia bahkan makin buruk dan tak jauh beda dengan negara berkembang seperti Nigeria dan Bangladesh.
Semua hal ini berakar dari sistem pembangunan SDM yang bermasalah, serta lalai akomodasi dari tiga sumber nilai utama bangsa Indonesia, yakni Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa.
Coba lihat, korupsi juga mestinya tidak terjadi karena agama mana pun mengharamkan. Makanlah makanan yang baik dan halal.
Tapi sistem bisa dibohongi, secanggih apa pun dan makin pinter orang, makin pandai mengakali sistem.
Penegak korupsi pun, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mesti jujur. Kalau tidak jujur hilang legitimasinya sebagai lembaga pemberantas korupsi.
Jujur itu artinya siapa pun yang korupsi harus menjadi sasaran pemberantasan korupsi dan tidak boleh ada politisasi korupsi atau penindakan korupsi.
Misalnya ini dikejar, ini tidak dikejar. Yang sudah tampak tidak dikejar, yang belum dicari-cari. Itu politisasi namanya. Kalau itu terjadi bisa ambruk bangsa Indonesia.
Maka bagaimana caranya kita bangun negeri ini dengan spirit kebersamaan dan etos kemajuan agar menjadi negeri seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atau dalam bahasa agama, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. (*)
(Disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir dalam peluncuran Universitas Muhammadiyah Sampit, 16 Mei 2023)