Hafshah Binti Umar, Penjaga Mushaf Pertama Al-Qur'an
Ilustrasi: bedouine fr
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana

Hafshah binti Umar adalah salah seorang istri Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zum’ah, dan Aisyah binti Abu Bakar. Ia seorang janda dari seorang pria bernama Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy, yang berjihad di jalan Allah SWT, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar.

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zaynab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un.

Lahirnya Hafshah

Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasulullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir.

Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab.

Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain; kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas.

Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.

Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam.

Pernikahan dengan Rasulullah 

Setelah Hafshah menjanda karena ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudhafah as-Sahami, yang gugur dalam Perang Badar, Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda.

Dalam hatinya terbersit niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang sholeh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu, dia pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya.

Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Namun pada saat itu, Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya Ruqayah binti Muhammad baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar.

Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa. Kemudian dia menemui Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya itu.

Mendengar penuturan Umar, Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.”

Di sinilah Umar mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam yang akan meminang putrinya.

Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya.

Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin menyebut rahasia beliau kepadamu.

Seandainya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.”

Umar baru saja memahami mengapa Abu Bakar menolak putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud mempersunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam.

Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya).

Di rumah Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah dan Aisyah. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya.

Lain halnya dengan Saudah binti Zumah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terhormat.

Pesan Umar kepada Putrinya

Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya, karena Umar mengetahui bahwa kedudukan Aisyah sangat tinggi di hati Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam.

Berarti rida terhadap Aisyah sama dengan ridha terhadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, Umar juga mengingatkan Hafshah agar menjaga tindak tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan.

Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka tetap saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari perasaan cemburu.

Kehidupan Setelah Menikah

Hafshah hidup bersama dengan istri-istri Rasulullah dan Ummahatul Mukminin yang suci. Di dalam rumah tangga Nubuwwah ada istri-istri selain beliau, yakni Saudah dan Aisyah.

Maka, tatkala ada kecemburuan, beliau mendekati Aisyah karena dia lebih pantas dan lebih layak untuk cemburu. Beliau senantiasa mendekati dan mengalah dengan Aisyah, mengikuti pesan bapaknya (Umar) yang berkata:

“Betapa kerdilnya engkau bila dibandingkan dengan Aisyah, dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila dibandingkan dengan ayahnya.”

Hafshah dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi, maka turunlah ayat: “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong untuk menerima kebaikan; dan jika kamu berdua bantu membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya, dan (begitu pula) Jibril” (Q.S. at-Tahrim: 4).

Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu alaihi wasallam telah mentalak sekali Hafshah tatkala Hafshah dianggap menyusahkan Nabi.

Namun beliau rujuk kembali dengan perintah yang dibawa oleh Jibril ‘alaihissalam yang berkata: “Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin salat, dan dia adalah istrimu di surga.”

Hafshah pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan penderitaan Nabi dengan menyebarkan rahasianya, namun akhirnya menjadi tenang setelah Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memaafkannya.

Kemudian Hafshah hidup bersama Nabi dengan hubungan yang harmonis sebagai seorang istri. Manakala Rasul yang mulia menghadap ar-Rafiiq al-A’la dan Khalifah dipegang oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, maka Hafshahlah yang dipercaya di antara Ummahatul Mukminin, termasuk Aisyah di dalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang pertama.

Hafshah radhiallaahu ‘anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan taat kepada Allah, rajin shaum, dan juga shalat; satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga keamanan dari undang-undang umat ini, dan kitabnya yang paling utama yang merupakan mukjizat yang kekal, sumber hukum yang lurus, dan aqidahnya yang utuh.

Pemilik Mushaf Pertama

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya. Dialah istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad).

Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer.

Awalnya, Abu Bakar merasa khawatir bahwa mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengubah Al-Qur’an.

Namun Umar meyakinkannya, dan akhirnya Abu Bakar mengizinkannya. Mushaf pun ditulis, dan saat itu mereka meminta kepada Hafshah agar memberikan mushaf yang dia miliki.

Akhirnya, pada tahun ke-12 Hijriyah, Al-Qur’an dapat dikumpulkan dalam satu mushaf. Mushaf tersebut diserahkan kepada Hafshah, dan hingga wafatnya, Hafshah tetap menyimpannya.

Ketika Khalifah Utsman ibn Affan memerintahkan untuk membuat salinan mushaf untuk disebarkan ke berbagai wilayah, mushaf tersebut menjadi acuan pertama dan diteliti dengan cermat untuk memastikan keaslian setiap ayat dan surah.

Hafshah radhiallaahu anha wafat pada tahun ke-45 Hijriyah dalam usia 60 tahun. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’ di Madinah.

Di antara keutamaan Hafshah adalah ia termasuk golongan wanita ahli ibadah yang paling rajin dan mendapat keistimewaan sebagai penyimpan Al-Qur’an pertama kali.

Juga, ia merupakan wanita pertama yang menulis Al-Qur’an dengan catatan dan kitab, yang terjaga hingga kini.

Dengan demikian, nama Hafshah binti Umar selalu dikenang dalam sejarah Islam sebagai wanita yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Rasulullah dan umat Islam. (*)

Sumber:
Hafsah binti Umar bin Khathab
Hafshah Binti Umar Bin Khattab r.a (Srikandi Islam)
Hafshah binti Umar.

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini