*)Oleh: Muhammad Roissudin
Mahasiswa Program Doktoral UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta
Garuda Muda Tim kesebelasan Sepak Bola Indonesia di bawah asuhan Shin Tae-yong sedang menjadi sorotan dunia, menyusul hasil imbang 2-2 pada laga tandang melawan “the Red” Bahrain. Pemicunya Wasit Ahmed Al Kaf diduga tidak fair play saat memimpin laga.
Hasil kontroversi akibat “bonus” waktu yang seharusnya 96 menit menjadi 99 menit berbuntut panjang. Penambahan waktu ini dianggap sengaja main mata dengan Timnas asuhan Dragan Talagic, hingga melahirka peluang membobol gawang Martin Paes dan menahan Imbang Garuda muda.
Sontak Suporter merah putih menggila, menyusul sejumlah pemain Bahrian juga turut memprovokasi, aksi “Ngamuk” penjaga gawang Bhawain Ebrahim Uhfala semakin menambah panas situasi.
Buntutnya, Netizen Indonesai meluapkan kekecewaanya lewat media sosial. Berselang beberapa menit, serangan maya suporter Indonesia yang dikenal sangat solid dan massive itu memenuhi jagat maya di berbagai platform media sosial.
Reaksi cepat atas kemarahan kolektif suporter Indonesia semakin “menyala” dan melahirkan Tagar #AFCMAFIA yang semakin tak terbendung. Puncaknya spot-spot public servis dan central layanan di Negeri Bahrain mendadak berubah nama menjadi “ AFC MAFIA”.
Bahrain sebagai salah satunegara tajir di Timur Tengah semakin kelabakan. Ujungnya sejumlah tokoh sepak bola meminta maaf atas tragedy dan tindakan yang dilakukan oleh anak didiknya.
Tetapi gelombang media sosial sudah terlanjur mendominasi platform-platform digital. Hal menandai betapa efektifnya komunikasi melalui media sosial dalam menyampaikan aspirasi public.. Gelombang informasi ini tidak hanya menciptakan diskusi di dalam negeri, tetapi juga menarik perhatian global. Para tokoh sepak bola dan pengamat internasional angkat bicara baik yang pro maupun kontra, menyoroti pentingnya integritas dan keadilan dalam olahraga.
Media Sosial mengubah pola berkomunikasi
Era media sosial memang telah mengubah cara masyarakat berkomunikasi secara radikal. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk berbagi informasi dan menyuarakan pendapat. Dengan lebih dari 200 juta pengguna di Indonesia, penggunaan media sosial mencerminkan dinamika sosial, budaya, dan politik yang kompleks. Suporter dengan cepat mengorganisir diri, membentuk tagar, dan menyebarkan kritik, menciptakan solidaritas yang kuat.
Namun, ada perbedaan pola penggunaan media sosial di Indonesia dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Di negara maju, interaksi cenderung lebih berbasis fakta dan informasi. Sebaliknya, pengguna di Indonesia lebih terlibat dalam hiburan dan interaksi sosial dan parsial melahirkan kualitas komunikasi yang lebih emosional.
Fenomena ini juga mencerminkan kebiasaan unik pengguna media sosial di Indonesia. Sebuah laporan menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia adalah pengguna Internet terbesar ke empat Dunia (Data Statisca 2023) sementra Jaringan penyedia Layanan media telekomunikasi Indonesia mencatat pengguna Andoid masyarakat Indonensia berusia 9-35 tahun menkonsumsi Informasi melalalui smartphone sebanyak 500- 600 kali dalam 24 jam.
Hal ini mempercepat penyebaran informasi dan emosi kolektif masyarakat Indonesia menjadi sangat massif dan instan, meskipun tantangan seperti penyebaran hoaks juga meningkat. Belum lagi, sekitar 30% konten di media sosial di Indonesia dianggap menyesatkan, yang semakin memengaruhi opini publik dan menciptakan polarisasi.
Media sosial memberikan peluang untuk berpartisipasi dalam diskusi publik dan menyuarakan suara. Menurut Prof. Marshall McLuhan, media adalah “pesan” itu sendiri. Di Indonesia, ini terlihat dalam gerakan sosial yang memanfaatkan platform digital untuk mengadvokasi perubahan. Namun, dampak negatif seperti kecemasan dan depresi juga menjadi perhatian, terutama di kalangan remaja.
Teori komunikasi Kuntowijoyo memberikan perspektif berharga dalam memahami fenomena ini. Ia menekankan pentingnya konteks sosial, budaya, dan politik dalam komunikasi. Masyarakat Indonesia cenderung berkomunikasi secara kolektif, di mana suara kelompok lebih diperhatikan. Hal ini terlihat jelas dalam penggunaan media sosial untuk menyuarakan pendapat kolektif, seperti pada tagar #AFCMAFIA yang mendunia menjadi symbol kekuatan kolektif berbasis media sosial.
Namun, jika tidak disikapi dengan cermat ada risiko besar terbentuknya pola pikir homogen yang mengabaikan suara-suara minoritas.
Dalam konteks ini, penting untuk membangun komunikasi yang inklusif, di mana semua suara didengar dan dihargai. Al-Qur’an juga memberikan panduan relevan mengenai pentingnya memeriksa kebenaran informasi yang valid dan massive sebelum menyebarkannya kepada khalayak. Quran Surat Al-Hujurat : 6 menegaskan yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Rosulullah Muhammad SAW juga mengingatkan pentingnya menyampaikan sebuah kebenaran, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat,” yang menekankan pentingnya menyebarkan informasi dengan benar dan bertanggung jawab.
Kesimpulannya, pergeseran gaya komunikasi di era media sosial telah menciptakan peluang dan tantangan baru. Media sosial menjadi alat yang efektif untuk membangun solidaritas, tetapi juga memunculkan risiko penyebaran informasi yang tidak akurat. Penggunakan media sosial untuk mengekspresikan gelombang energy “kolektif” harus diarahkan pada hal-hal produktif, sekaligus memperjuangkan keadilan dalam berbagai hal.
Masyarakat harus bijak dalam menggunakan media sosial, memeriksa kebenaran informasi, dan menghargai keragaman pandangan untuk membangun komunikasi yang konstruktif dan inklusif.
Oleh karena mari berkomitmen memulai dari diri sendiri untuk membiasakan ketika mendapatkan sebuah Informasi harus saring, kemudian sharing dengan kolega. Setelah valid kebenarnnya baru sharing ( sebarkan) jika ada “value” kebaikannya. Afalaa tatafakkaruun (*)
Referensi
- We Are Social & Hootsuite. (2023). Digital 2023: Global Overview Report.
- Kominfo. (2023). Laporan Informasi Publik.
- Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat (49:12).
- Hadis Riwayat Muslim.
- Connolly, P. (2016). Aneka Studi Agama.
- Mayasari, A., & Utami, V. (Tahun). Pergeseran Budaya Komunikasi pada Era Media Baru. Prodi S1 Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News