NKRI Berdasar Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah untuk Mewujudkan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur
Ghofar Ismail, SAg, MA.
UM Surabaya

*)Oleh: Ghofar Ismail, SAg, MA
(Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)

Muhammadiyah memandang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk dari Darul Ahdi was-Syahadah, yakni sebuah negara yang berdasarkan kesepakatan dan tempat umat Islam membuktikan keimanannya.

Konsep Darul Ahdi (Negara Kesepakatan) dalam pandangan Muhammadiyah menunjukkan bahwa Indonesia berdiri atas dasar kesepakatan bersama para pendiri bangsa yang mencetuskan Pancasila. Muhammadiyah meyakini bahwa dasar negara yang dihasilkan dari konsensus ini merupakan bentuk yang sah dan sesuai untuk mengelola kehidupan bermasyarakat dalam konteks kebhinekaan Indonesia.

Oleh karena itu, Muhammadiyah mengakui Pancasila sebagai landasan bersama yang mewadahi seluruh komponen bangsa dalam bingkai persatuan.

Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” menurut Muhammadiyah, memiliki kedekatan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Bila merujuk pada Piagam Jakarta, sila pertama tersebut bahkan awalnya berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya,” yang memperlihatkan bahwa nilai-nilai Islam turut mewarnai lahirnya dasar negara Indonesia.

Meskipun kata-kata ini kemudian disepakati untuk diubah demi persatuan bangsa, Muhammadiyah meyakini bahwa esensi dari sila pertama tetap mencerminkan prinsip ketuhanan yang mengakomodasi keyakinan agama dalam kehidupan berbangsa. Hal ini mencerminkan sikap Muhammadiyah bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan sejalan dengan asas-asas Islam yang dianut Muhammadiyah.

Sebagai Darussyahadah (Negara Pembuktian), NKRI bagi Muhammadiyah juga merupakan tempat untuk mengamalkan dan membuktikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Muhammadiyah melihat Indonesia sebagai wadah bagi umat Islam untuk mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam bermasyarakat, berpolitik, maupun berkebudayaan.

Tugas setiap muslim, terutama anggota Muhammadiyah adalah memperlihatkan bukti dari keimanan yang mereka ikrarkan dalam syahadat melalui perilaku yang mencerminkan Islam yang damai, berkemajuan, dan rahmatan lil ‘alamin. Dengan menjadikan NKRI sebagai Darussyahadah, Muhammadiyah memandang bahwa Indonesia bukan hanya tempat tinggal, melainkan arena untuk mewujudkan ajaran Islam secara produktif.

Konsep Darul Ahdi was-Syahadah ini memperlihatkan komitmen Muhammadiyah untuk menjaga NKRI dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Muhammadiyah menekankan bahwa Indonesia harus dipertahankan dan diisi dengan kontribusi positif oleh setiap umat Islam.

Di sinilah Muhammadiyah menegaskan bahwa patriotisme dan pengabdian kepada negara adalah bagian dari pengabdian kepada Allah, sebagaimana diwujudkan melalui kontribusi nyata terhadap kesejahteraan dan keadilan di masyarakat. Oleh sebab itu, keislaman dan kebangsaan tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam pandangan Muhammadiyah, dengan NKRI sebagai ruang untuk berperan dalam kemaslahatan bersama.

Pandangan Muhammadiyah mengenai Pancasila dan NKRI sebagai Darul Ahdi was-Syahadah memperlihatkan pemahaman yang inklusif terhadap negara dan agama. Muhammadiyah percaya bahwa dengan mengakui Pancasila sebagai kesepakatan bersama, umat Islam di Indonesia dapat membangun kehidupan yang harmonis tanpa kehilangan jati diri keislamannya. Sikap ini bukan hanya untuk menjamin kerukunan, tetapi juga membuktikan bahwa umat Islam mampu menjadi warga negara yang baik, menjalankan amanah syahadat melalui kiprah sosial yang positif, dan turut serta dalam memperkokoh negara.

Pemahaman Darul Ahdi was-Syahadah bagi Muhammadiyah tidak hanya menekankan pentingnya menjaga NKRI sebagai negara kesepakatan dan pembuktian iman, tetapi juga sebagai landasan dalam upaya mewujudkan masyarakat yang ideal, atau yang dikenal dalam istilah Qur’ani sebagai Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang baik dengan pengampunan dari Allah).

Masyarakat ideal ini merujuk pada kondisi yang tidak hanya makmur secara fisik dan material, tetapi juga memiliki keimanan dan nilai spiritual yang kuat. Dalam pandangan Muhammadiyah, prinsip ini merupakan tujuan yang bisa dicapai melalui komitmen terhadap tauhid, pengembangan teknologi, pengelolaan ekosistem yang seimbang, penguasaan informasi, transformasi sosial, dan penguatan sumber daya manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Konsep Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur ini tercermin dalam sejarah Nabi Dawud dan Sulaiman a.s., sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 10–14. Dalam periode ini, umat manusia berhasil menciptakan kemakmuran berkat kepatuhan kepada Allah dan kemajuan teknologi yang tinggi.

Nabi Dawud, sebagai pemimpin umat, menunjukkan bahwa hubungan tauhid atau kesatuan dengan alam adalah hal mendasar bagi terciptanya peradaban yang baik. Ketundukan alam, seperti gunung dan burung, yang ikut bertasbih bersama Nabi Dawud, menggambarkan bahwa manusia harus menjaga harmonisasi dengan lingkungan serta menggunakan teknologi seperti penguasaan besi untuk kebaikan. Hal ini menjadi gambaran penting bagi umat Islam bahwa teknologi seharusnya mendukung pembangunan masyarakat yang seimbang dan taat kepada Allah.

Pada masa Nabi Sulaiman, bentuk kemajuan yang lebih kompleks tercapai, di mana Allah menundukkan angin, tembaga cair, dan makhluk-makhluk lain untuk mendukung kepemimpinannya. Ini mengisyaratkan perlunya umat Islam untuk menguasai teknologi transportasi, teknologi informasi, serta teknologi terbarukan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang maju.

Dalam konteks modern, penguasaan atas informasi dan teknologi komunikasi dapat menjadi sarana dalam menyebarkan nilai-nilai Islam serta memperkokoh integritas bangsa. Muhammadiyah menilai bahwa pengembangan teknologi dan infrastruktur ini bukan hanya untuk kepentingan duniawi, tetapi juga sebagai bentuk ibadah yang menunjang tercapainya masyarakat yang makmur dan penuh berkah.

Namun, keseimbangan dalam pembangunan ini harus diiringi oleh ketakwaan kepada Allah. Kisah hancurnya negeri Saba’ dalam Surat Saba’ ayat 15–19 menunjukkan bahwa Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur bisa berubah menjadi kehancuran ketika manusia mulai lalai, kufur nikmat, dan mengabaikan aturan Allah. Muhammadiyah melihat bahwa komitmen terhadap nilai-nilai tauhid adalah landasan utama agar kemajuan yang dicapai tetap berada dalam koridor yang benar.

Melalui konsep Darul Ahdi was-Syahadah, umat Islam diharapkan mampu membuktikan iman mereka dalam kehidupan bermasyarakat dengan membangun Indonesia sebagai negara yang taat kepada Allah serta maju dalam segala aspek teknologi dan ekosistemnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, penguatan sumber daya manusia (SDM) menjadi sangat penting. SDM yang unggul, baik dalam hal spiritual maupun intelektual, akan menjadi motor penggerak menuju masyarakat yang ideal. Muhammadiyah berkomitmen untuk membangun SDM yang tidak hanya cakap dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memiliki nilai tauhid yang kuat.

Melalui pendidikan dan pembinaan karakter, diharapkan lahir generasi yang mampu membawa Indonesia menuju Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, di mana kemakmuran, kesejahteraan, dan rahmat Allah melimpah bagi seluruh masyarakat.

*) Disampaikan di Masjid Nurul Azhar Porong dalam pengajian Ahad (3/11/2024)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini