*Oleh: Muhammad Roissudin
Mahasiswa Program Doktoral Studi Filantropi Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Peringatan Hari Pahlawan Nasional bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan momentum penting untuk mengenang kontribusi besar para pahlawan bangsa dan founding fathers dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peringatan ini juga menjadi pengingat bagi generasi penerus agar tidak melupakan cita-cita dan perjuangan para pendiri bangsa, serta menjadikannya inspirasi untuk menghasilkan karya-karya produktif demi kemajuan dan peradaban bangsa.
Dalam konteks ini, dua tokoh besar Indonesia, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, bukan hanya pahlawan pergerakan nasional, tetapi juga pelopor penting dalam pembangunan peradaban Indonesia. Mereka tidak hanya berjuang di bidang agama, tetapi juga di aspek sosial, budaya, dan pendidikan melalui gerakan filantropi yang tetap relevan hingga kini.
Keduanya merupakan pilar utama dalam membangun peradaban Indonesia, yang dampaknya terasa luas dalam kemajuan bangsa, baik di bidang pendidikan, sosial, maupun dakwah. Karya mereka melahirkan para tokoh ulama dan pemimpin bangsa, serta mengantarkan jutaan generasi unggul yang siap melanjutkan visi besar Indonesia.
KH Ahmad Dahlan dan Teologi Al-Ma’un: Gerakan Filantropi Mustad’afiin
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah pada tahun 1912, telah meninggalkan warisan besar dalam bentuk konsep Teologi Al-Ma’un, yang memotivasi umat Islam untuk peduli terhadap sesama melalui tindakan nyata. Gerakan ini menginspirasi berdirinya berbagai lembaga sosial yang fokus pada pemberdayaan masyarakat miskin, anak yatim, dan mereka yang berada dalam kesulitan ekonomi.
Melalui Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan menekankan pentingnya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial sebagai langkah konkret untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Konsep Teologi Al-Ma’un ini telah mendorong terbentuknya ribuan amal usaha yang terus berkembang hingga hari ini.
Berdasarkan data Litbang PP Muhammadiyah hingga September 2023, sejumlah besar Amal Usaha Muhammadiyah telah tersebar di seluruh Indonesia, di antaranya:
- Perguruan Tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah (PTMA): 172 unit (83 universitas, 53 sekolah tinggi, 36 bentuk lainnya)
- Rumah Sakit Muhammadiyah: 122 unit (ditambah 20 rumah sakit dalam proses pembangunan)
- Klinik Kesehatan: 231 unit
- Sekolah/Madrasah: 5.345 unit
- Aset Wakaf: 20.465 lokasi dengan luas tanah mencapai 214.742.677 m²
- Amal Usaha Sosial (MCC/LKSA): 1.012 unit
- Pesantren Muhammadiyah: 440 unit
- Misi Kemanusiaan Internasional: Termasuk Palestina, Rohingya (Myanmar), Filipina, Pakistan, Turki, Nepal, Sudan, dan negara-negara terdampak bencana lainnya.
Kontribusi besar ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh instrumen filantropi yang diwariskan KH Ahmad Dahlan dalam membangun jaringan sosial yang peduli terhadap kemanusiaan dalam berbagai aspek. Hal ini tidak hanya mencakup pendidikan, tetapi juga pemberdayaan masyarakat miskin, yang menjadi pokok ajaran dalam “Teologi Al-Ma’un”.
KH Hasyim Asy’ari dan Teologi Al-Balad: Gerakan Pesantren sebagai Pilar Sosial
KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926, memfokuskan perjuangannya melalui jalur pesantren. Menurut Prof. Dr. Noer Achmad, Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), gerakan pesantren yang digagas oleh KH Hasyim Asy’ari merupakan implementasi dari pengalaman Surat Al-Balad ayat 13–16, yang dikenal dengan istilah Pendekatan Teologi Al-Balad.
Dalam praktiknya, KH Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, dan perbudakan melalui pendidikan agama dan sosial yang dimulai dengan gerakan pesantren. Teologi Al-Balad ini mengajarkan untuk memberi makan orang miskin, merawat anak yatim, serta membebaskan perbudakan, sambil menanamkan pentingnya pendidikan berbasis Islam yang moderat dan inklusif.
Melalui NU, KH Hasyim Asy’ari meletakkan dasar pendidikan Islam berbasis Ahlussunnah Wal Jamaah dengan tujuan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang tidak hanya paham agama, tetapi juga siap menghadapi tantangan zaman. Ribuan pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi bukti nyata dari gerakan ini. Pendidikan pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai sosial yang mendorong pemberdayaan masyarakat.
Menurut data Kementerian Agama (2022), jumlah pesantren di Indonesia mencapai 26.975, dengan 13.477 di antaranya beraliran Nahdlatul Ulama. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh NU dalam membentuk karakter masyarakat melalui pendidikan pesantren berbasis Ahlussunnah Wal Jamaah.
Pendekatan Filantropi dalam Tradisi NU dan Muhammadiyah
Secara sosiologis, baik KH Ahmad Dahlan dengan Teologi Al-Ma’un maupun KH Hasyim Asy’ari dengan Teologi Al-Balad keduanya telah menciptakan gerakan sosial yang mendalam. Gerakan filantropi yang mereka gagas tidak hanya berfokus pada pemberian bantuan material, tetapi lebih kepada pembentukan struktur sosial yang berkelanjutan dan inklusif.
Menurut Prof. Azumardi Azra, seorang sosiolog Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, gerakan ini menunjukkan betapa Islam dapat berfungsi sebagai kekuatan sosial yang membangun dan memperbaiki masyarakat.
Gerakan filantropi yang dipelopori oleh KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari mengedepankan pemberdayaan kaum miskin dan marginal, serta membangun jaringan sosial yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara holistik.
Nurhokis Majid, dalam perspektifnya, menganggap gerakan filantropi berbasis pesantren yang dipelopori oleh KH Hasyim Asy’ari sebagai model yang sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pesantren NU tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan yang menjaga nilai-nilai moderasi Islam serta kesatuan sosial.
Kedua tokoh besar ini, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, telah meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi Indonesia. Filantropi Islam yang mereka kembangkan melalui dakwah sosial tidak hanya memberikan bantuan konsumtif, tetapi juga membangun dua tradisi besar dalam dunia Islam: pendidikan formal berbasis pesantren dan tradisi pesantren secara kultur.
Dalam konteks Indonesia, dua gerakan sosial ini berhasil membangkitkan kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi, yang semuanya berlandaskan prinsip ajaran Islam rahmatan lil-‘alamin. Lewat berbagai amal usaha yang mereka wariskan, baik Muhammadiyah maupun NU telah berhasil menciptakan jaringan sosial yang kokoh dan terus berkembang, memberi harapan bagi masyarakat Indonesia untuk terus maju dan berkembang.
Gerakan filantropi yang mereka inisiasi tidak hanya berkontribusi dalam membangun peradaban Indonesia, tetapi juga menjadi contoh konkret bagaimana agama, pendidikan, dan sosial dapat bekerja bersama untuk mencapai kesejahteraan yang lebih besar. Dalam hal ini, keduanya—meskipun dengan pendekatan yang sedikit berbeda—telah menunjukkan jalan menuju masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News