*)Oleh: Muhammad Roissudin
Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi besar di dunia. Kekayaan alam yang melimpah dan sektor pertanian yang luas memberikan modal besar bagi Indonesia untuk maju dan sejahtera. Namun, di sisi lain, negara ini menghadapi masalah yang memprihatinkan: sampah makanan (food waste) yang sangat besar setiap tahunnya. Fenomena ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga berkaitan dengan kemiskinan dan ketidakcukupan gizi (stunting) yang masih menghantui banyak daerah di Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2021, rata-rata setiap orang Indonesia membuang sekitar 115 hingga 184 kg makanan per tahun. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa, angka ini sangat signifikan dan menunjukkan pemborosan yang luar biasa. Meskipun Indonesia memiliki potensi besar di sektor pertanian dan pangan, kenyataannya masih banyak makanan yang terbuang sia-sia.
Di sisi lain, Indonesia masih menghadapi masalah kemiskinan dan stunting. Berdasarkan data dari Kementerian Sosial, pada tahun 2023, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 21,5%, yang merupakan angka yang masih tergolong tinggi di kawasan Asia Tenggara. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah dengan tingkat pendidikan rendah, meskipun penyebabnya bisa sangat kompleks.
Dampak Ekonomi dan Lingkungan dari Food Waste
Setiap tahun, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan pemborosan makanan terbesar, yang setara dengan sekitar 4-5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kerugian ekonomi akibat pemborosan makanan mencapai sekitar Rp 231–551 triliun per tahun, dengan 41,27% di antaranya merupakan sampah makanan yang terbuang sia-sia. Selain kerugian ekonomi, dampak negatif lainnya termasuk kerusakan lingkungan, meningkatnya emisi gas rumah kaca, krisis pangan, dan kerugian sosial.
Pemborosan makanan ini terjadi pada berbagai tahapan, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Di tingkat rumah tangga, banyak makanan yang terbuang akibat pembelian berlebihan atau penyimpanan yang tidak tepat. Begitu juga di pasar dan supermarket, makanan yang mendekati tanggal kedaluwarsa seringkali dibuang begitu saja. Bahkan, banyak restoran yang membuang sisa makanan yang masih layak konsumsi.
Peluang Ekonomi dan Filantropi
Walaupun pemborosan makanan memiliki dampak negatif yang besar, fenomena ini juga membuka peluang untuk berbuat kebaikan. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah melalui bank makanan, yang dapat mengumpulkan makanan surplus dari restoran dan supermarket, lalu mendistribusikannya kepada mereka yang membutuhkan. Dengan cara ini, kita dapat mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep ini juga membuka peluang usaha baru, seperti pengolahan makanan sisa yang masih layak konsumsi atau teknologi untuk mengurangi pemborosan makanan.
Menurut data yang dirilis oleh Komunitas Bandungfoodcity dan Katadata, Indonesia membuang sekitar 13 juta ton makanan per tahun, yang setara dengan makanan untuk lebih dari 28 juta orang. Secara ekonomi, kerugian akibat pemborosan makanan ini mencapai sekitar 27 triliun rupiah per tahun. Mengurangi pemborosan makanan dapat membuka peluang besar untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menciptakan peluang ekonomi baru, seperti bisnis pengolahan makanan dan distribusi yang lebih efisien.
Tantangan Kesehatan dan Sederhana dalam Islam
Selain masalah pemborosan makanan, gaya hidup yang tidak sehat akibat pola makan berlebihan juga memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Penyakit seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dan obesitas seringkali merupakan akibat dari pola makan yang tidak terkendali.
Menurut pengamat ekonomi, Rhenald Kasali, konsumsi makanan berlebihan yang tinggi gula, lemak, dan kalori bisa menyebabkan gangguan metabolisme tubuh yang berujung pada komplikasi serius.
Islam mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana dan tidak boros dalam hal konsumsi pangan. Dalam Surah Al-A’raf ayat 31, Allah berfirman:
“Wahai anak-anak Adam, pakailah perhiasanmu di setiap masjid, dan makan serta minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Ajaran ini mengingatkan kita untuk bijak dalam mengelola sumber daya, termasuk makanan, dan menghindari pemborosan. Bahkan, dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengingatkan untuk tidak berlebihan meskipun air mengalir deras di sungai, yang menunjukkan betapa pentingnya menghindari pemborosan dalam segala hal, termasuk makanan.
Solusi Kolaboratif: Peran Pemerintah dan Swasta
Mengatasi masalah pemborosan makanan membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Pemerintah dapat memainkan peran penting dalam memberikan kebijakan yang mendukung pengurangan pemborosan makanan, seperti mendorong pengusaha untuk menyumbangkan makanan yang masih layak konsumsi kepada mereka yang membutuhkan. Selain itu, kampanye edukasi juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara mengelola makanan dengan bijak.
Sektor swasta, terutama perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang pangan dan distribusi, juga harus berperan aktif dalam mengurangi pemborosan makanan. Misalnya, restoran dan supermarket dapat bekerja sama dengan lembaga sosial untuk mendistribusikan makanan yang hampir kedaluwarsa atau surplus ke pihak yang membutuhkan. Investasi dalam teknologi yang lebih efisien, seperti sistem prediksi permintaan yang lebih baik, juga dapat membantu mengurangi pemborosan makanan.
Pemborosan makanan adalah masalah besar yang mempengaruhi ekonomi, sosial, dan lingkungan Indonesia. Namun, di balik masalah ini terdapat peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keberlanjutan bumi. Mengurangi pemborosan makanan dapat mengurangi kemiskinan, menciptakan peluang ekonomi baru, dan mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, kita dapat mengubah pemborosan makanan menjadi solusi bagi masalah besar yang dihadapi negara ini. Seperti yang diajarkan dalam ajaran Islam, hidup sederhana dan bijak dalam konsumsi pangan adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan. (*)
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Konsentrasi Filantropi Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News