Cahaya Ibu

Cahaya Ibu
*) Oleh : Agus Wahyudi

Pagi itu, embun masih menggantung di dedaunan, membiaskan sinar matahari yang mulai mengintip dari ufuk timur. Firda menutup mushaf Al-Qur’an di pangkuannya dengan lembut, seolah-olah takut mengganggu keheningan yang menyelimuti suasana. Sesaat ia terdiam, matanya menatap langit yang biru pucat, seolah mencari makna dari setiap ayat yang baru saja ia resapi.

Udara subuh yang sejuk menyusup lembut, menyentuh kulit dan meresap hingga ke tulang, namun di dalam hatinya, ia merasakan kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ketenangan itu seperti oase yang menyejukkan, memberi energi dan semangat baru untuk menjalani hari. Setiap kata, setiap huruf dari kitab suci yang ia lantunkan, bagaikan alunan doa yang mengalir langsung ke relung jiwanya, menghadirkan damai yang tak tergantikan.

Firda tak pernah terburu-buru dalam membaca. Setiap ayat ia nikmati dengan pelan, berhenti sejenak untuk menatap terjemahannya, kemudian mencatat beberapa hal yang menggetarkan hatinya. Kadang, bila ada ayat yang dianggap penting sebagai referensi, Firda membaca berulang kali agar bisa menancapkan dalam memori otaknya.

Di sampingnya, buku catatan kecil sudah penuh dengan goresan tinta. Di sana, ia menyimpan pemikirannya, pemahaman sederhana yang dia dapat dari tiap ayat yang ia baca. Al-Qur’an adalah sahabat setianya.

Setiap pagi, selepas subuh, Firda selalu meluangkan waktu untuk membaca ayat-ayat Allah. Bukan sekadar ritual harian, tapi sebagai sumber kekuatan dan ketenangan jiwa. Ia tak pernah merasa lebih hebat karena itu. Baginya, Al-Qur’an adalah penuntun, bukan untuk dipamerkan.

Firda hanyalah seorang perempuan muslimah yang sederhana. Tinggal di desa kecil, dengan pakaian yang tak pernah mencolok. Penampilannya bersahaja, kerudung yang selalu rapi menutupi kepala, dan langkahnya penuh ketulusan. Orang-orang mengenalnya sebagai perempuan yang jarang berbicara, namun ketika ia berbicara, kata-katanya membawa kedamaian bagi siapa pun yang mendengarnya.

Suatu hari, desanya geger dengan kabar tentang perlombaan ceramah untuk perempuan muda. Sebagian besar tetangga langsung menyarankan Firda untuk ikut serta.

“Kamu harus ikut, Fir. Kau tahu banyak tentang Al-Qur’an,” kata Laily, sahabat karibnya.

Firda hanya tersenyum kecil. “Aku tak pandai bicara di depan banyak orang,” jawabnya pelan.

Laily tak menyerah, “Kau tak perlu pandai bicara, Fir. Cukup sampaikan apa yang selalu kau sampaikan padaku. Tentang kebaikan, tentang Al-Qur’an, dan hidup dengan hati yang lapang.”

Namun, di balik senyuman lembut itu, Firda menyimpan kegelisahan. Bukan hanya karena ia kurang percaya diri, tetapi juga karena ada kenangan yang selalu mengganggu setiap kali ia dihadapkan pada situasi penting. Kenangan tentang ibunya.

Ibunya adalah sosok yang luar biasa. Ketika Firda dan delapan saudaranya masih kecil, ayah mereka meninggal dunia. Waktu itu, Firda adalah anak yang paling tua, baru berusia sembilan tahun.

Sang ibu, yang hanya mengandalkan warung kelontong kecil di pinggir desa, mendadak harus menjadi tulang punggung bagi sembilan anak yang masih kecil. Warung itu bukan sekadar tempat untuk berdagang, tetapi juga tempat sang ibu mengajar anak-anak mengaji.

“Ibu selalu bilang, ‘Di sini, kita belajar dengan hati, bukan hanya dengan mulut.’ Dan dia mengajarkan kami semua untuk selalu rendah hati, meskipun kami hidup dalam kesulitan,” Firda bercerita pada Laily, suatu hari.

Di warung itu, ibunya mengajarkan mengaji bagi anak-anak yang merasa malu untuk datang ke masjid. Setiap malam selepas Isya, ibu Firda dengan sabar duduk di lantai tanah yang dingin, membimbing mereka membaca huruf demi huruf Al-Qur’an. Suara lembutnya masih terngiang di telinga Firda sampai sekarang.

Ibunya tidak pernah mengeluh, meskipun harus bekerja keras dari pagi hingga larut malam. Meskipun hanya dari warung kecil itulah, ia mampu membiayai anak-anaknya hingga semuanya tumbuh menjadi orang-orang yang bisa berdiri di atas kaki mereka sendiri.

“Ibu adalah sosok yang penuh keberanian,” pikir Firda . Namun, di balik itu, ada rasa perih yang selalu ia sembunyikan—rasa kehilangan ayah dan beban berat yang harus ditanggung sang ibu.

Setiap kali Firda dihadapkan pada momen penting dalam hidupnya, kenangan tentang perjuangan ibunya selalu menghantui. Ada perasaan tidak ingin mengecewakan, seakan segala usahanya belum cukup untuk membalas semua pengorbanan itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *