Keputusan Badan Gizi Nasional (BGN) untuk mengubah menu Makan Bergizi Gratis (MBG) pada bulan Ramadan dengan menggantinya menjadi makanan instan atau ultraproses (UPF) seperti roti dan sereal instan telah menimbulkan berbagai perdebatan di masyarakat. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah keputusan ini benar-benar sejalan dengan tujuan awal dari program MBG, yaitu menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak.
Salah satu tanggapan kritis datang dari Dede Nasrullah, pakar kesehatan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). Menurutnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap perubahan ini, terutama terkait kandungan nutrisi dalam makanan instan yang disajikan kepada anak-anak selama bulan puasa.
“Banyak orang menganggap sereal sebagai makanan sehat karena kandungan seratnya yang cukup tinggi. Namun, kita juga harus memahami bahwa sereal instan yang umum dikonsumsi mengandung kadar gula yang cukup tinggi. Konsumsi gula yang berlebihan dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan bagi anak-anak,” ujar Dede seperti dilansir di laman resmi UM Surabaya, pada Jumat (14/3/25).
Lebih lanjut, Dede menjelaskan bahwa asupan gula yang berlebihan dari makanan olahan seperti sereal instan dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit, di antaranya gigi berlubang dan obesitas. Kondisi ini menjadi perhatian serius, mengingat pola makan anak-anak yang tidak terkontrol dapat berkontribusi pada meningkatnya prevalensi obesitas di usia dini.
Mengacu pada rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), batas konsumsi gula harian untuk anak-anak tidak boleh melebihi 30 gram atau sekitar enam sendok teh per hari. Sereal instan yang tersedia di pasaran sering kali mengandung gula dalam jumlah yang cukup tinggi, sehingga orang tua harus lebih cermat dalam mengatur pola makan anak.
Dede menyarankan agar sereal instan tidak diberikan lebih dari dua kali dalam seminggu dan sebaiknya tidak dijadikan menu harian. Sebagai alternatif, orang tua dapat memilih makanan alami yang lebih kaya akan nutrisi seperti buah-buahan segar, biji-bijian utuh, serta makanan yang lebih minim pemrosesan.
Tak hanya itu, Dede juga menyoroti sejumlah penelitian yang mengungkapkan dampak negatif konsumsi makanan ultraproses terhadap kesehatan anak. Salah satu studi berjudul Ultraprocessed Food Consumption and Cardiometabolic Risk Factors in Children yang diterbitkan dalam JAMA Network Open, menganalisis data dari lebih dari 1.400 anak berusia 3 hingga 6 tahun di tujuh kota di Spanyol.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak yang sering mengonsumsi makanan ultraproses cenderung memiliki risiko lebih tinggi terhadap berbagai masalah kesehatan, termasuk peningkatan indeks massa tubuh (IMT), tekanan darah sistolik yang lebih tinggi, serta rasio lingkar pinggang terhadap tinggi badan yang tidak ideal.
Menurut Dede, dampak dari pemberian makanan instan dan ultraproses ini bukan hanya pada aspek kesehatan fisik, tetapi juga pada pola pikir anak-anak mengenai makanan bergizi.
“Jika sejak dini mereka terbiasa dengan makanan olahan yang tinggi gula dan rendah kandungan alami, ada risiko mereka akan menganggap makanan tersebut sebagai pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka. Hal ini tentu bertolak belakang dengan tujuan utama dari program MBG yang seharusnya memberikan makanan sehat dan seimbang kepada anak-anak,” papar dia
“Yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya potensi pembentukan mindset yang keliru pada anak-anak. Mereka bisa saja menganggap makanan ultraproses seperti sereal dan roti sebagai makanan yang benar-benar sehat dan bergizi hanya karena berada dalam program MBG atau Makan Bergizi Gratis. Padahal, konsumsi makanan ini secara terus-menerus bisa memberikan dampak negatif bagi kesehatan mereka dalam jangka panjang,” imbuh Dede.
Oleh karena itu, Dede mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mencari alternatif yang lebih baik dalam penyediaan makanan bergizi bagi anak-anak selama bulan Ramadan.
“Solusi yang lebih sehat, seperti penyediaan makanan alami dengan kandungan nutrisi yang lebih seimbang, perlu diprioritaskan agar program MBG benar-benar memberikan manfaat yang optimal bagi kesehatan anak-anak di Indonesia,” pungkasnya. (wh)