Al-Qur’an sebagai Pilar Peradaban Keilmuan

Al-Qur’an sebagai Pilar Peradaban Keilmuan
*) Oleh : Fokky Fuad Wasitaatmadja
Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia

Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan

Ilmu Pengetahuan menjadi sebuah metode manusia untuk mengetahui segala apa yang ia rasakan. Beragam pertanyaan muncul sebagai sifat dasar manusia untuk mencoba menguak hakikat alam semesta. Apa, bagaimana & mengapa, dan untuk apa manusia dan alam semesta ini ada telah ditanyakan sejak beribu tahun lamanya. Lahirnya filsafat juga ilmu pengetahuan sejatinya menghapus cara berfikir tahayul. Al-Qur’an hadir sebagai bentuk dari proses pembentukan manusia bertuhan sekaligus berilmu-pengetahuan.

Manusia acapkali membenturkan ide pengetahuan dan kitab suci, keduanya dianggap sebagai dua buah entitas yang saling berhadapan bahkan bertolak belakang. Sejatinya dengan turunnya al-Qur’an telah menjelaskan relasi yang begitu kuat antara gagasan epistemologi ilmu pengetahuan dengan keyakinan atas kekuasaan Tuhan (teologi).

Al-Qur’an yang hadir melalui Iqra sebagai ayat yang pertama turun menunjukkan sebuah tarikan pengetahuan yang kuat (Qs.96: 1-2). Ayat ini tidak saja bermakna manusia untuk membaca, tetapi lebih jauh adalah memiliki kemampuan literasi untuk memahami eksistensi dirinya, alam semesta, dan tentunya Tuhan. Disinilah hadirnya gagasan atas proses penalaran yang ilmiah dan objektif bagi manusia (Latifah & Anwar, 2022).

Kemajuan Peradaban Islam dalam penguasaan pengetahuan di era Abbasiyah hingga Bani Umayyah II di Andalusia Spanyol menjadikan peradaban Islam merupakan peradaban yang sangat maju. Saat kemajuan peradaban Islam saat itu disebut sebagai masa keemasan (The Golden Age) yang terjadi sejak tahun 650 M. – 1250 M. Kemajuan ilmu pengetahuan yang begitu besar ini dibuktikan dengan munculnya ahli dan para filsuf besar dunia Islam kala itu mulai dari Ibn Sina, al-Kindi, al-Khawarizmi, al-Farabi, Ibn Rusyd, dan lainnya (Nasron, et.al., 2023).

Al-Qur’an tidak semata menjelaskan relasi-relasi teologis dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, melainkan juga relasi pengetahuan melalui penggunaan akal fikir yang mendalam. Jumlah ayat yang menjelaskan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an tercatat sebanyak 774 kata (Setiawan, 2018), sedangkan ayat-ayat yang berkaitan dengan terapan hukum tidak lebih dari 500 ayat (konsultasisyariah.in, 2016). Dalam hal ini tampak bahwa gagasan pengetahuan dan bahkan sains moderen merupakan bahasan yang sangat erat dalam tradisi keilmuan Umat Islam.

Hal menarik dalam tradisi keilmuan Islam tidak terjadi pemisahan antara ilmu dan kitab suci, antara ilmu dan agama, sehingga ide sekularisme tampaknya kurang mendapatkan tempat dalam epistemologi Islam. Sains dalam Islam memadukan aspek dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, sehingga tidak membuang pemahaman ruhaniah ketuhanan dengan hadirnya pengetahuan moderen (Mubin, et.al., 2023). Kekuatan inilah yang sejatinya menjadikan manusia Muslim sebagai manusia berpengetahuan dan bukan sebagai manusia yang terjauhkan dari pengetahuan dan tertinggal dengan kemajuan peradaban manusia lainnya.

Keunggulan peradaban Islam di Baghdad pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dan Andalusia pada masa Bani Umayyah II ikut memberikan sumbangsih besar terhadap munculnya gerakan pencerahan (renaissance) di Eropa Abad 18. Eropa yang tengah berada dalam abad kegelapan (dark ages) terpengaruh dengan perkembangan sains dan teknologi khususnya pemikiran Ibn Rusyd dan Ibn Sina yang begitu mencerahkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *