foto: indiaforensic.com
UM Surabaya

Ajaran Islam mengajak umat agar memerhatikan status kehalalan atau keharaman harta yang diperoleh.

Alasannya, harta yang didapat dengan jalan yang haram, selain merugikan orang lain, harta itu akan membawa hal-hal negatif bagi orang yang menggunakannya.

Allah Swt memerintahkan supaya kita memakan harta yang baik dan yang diraih dengan cara yang baik pula.

Firman Allah Swt:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya.” (QS Al Baqarah [2]:172)

Dalam hadis Abu Hurairah disebutkan bahwa kita diperintahkan untuk mengonsumsi dan menggunakan harta yang halal. Itulah yang Allah terima.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (halal).” (HR. Muslim no. 1015)

Rasulullah SAW mewanti-wanti bahwa kelak di hari kiamat, salah satu hal yang akan ditanya adalah dari mana harta yang kita dapat? Apakah harta itu diperoleh dengan cara yang halal atau haram?

عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَههُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ

“Dari Abu Barzah Al Aslami berkata, “Rasulullah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan ke mana dia infakkan dan tentang tubuhnya untuk apa dia gunakan.” (HR Tirmidzi no 2341)

Tidak berhenti sampai di situ, riwayat lain menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW meramalkan kelak di masa depan akan datang zaman di mana orang sudah tidak peduli dari mana harta yang dia dapat, entah halal atau haram.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيلَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَاالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Dari Abu Hurairah RA radhiallahu’anhu dari Nab

i bersabda, “Sungguh pasti akan datang suatu zaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram.” (HR Bukhari no 1941)

Mengenai hukum menggunakan harta yang bercampur antara halal dan haram sudah dikemukakan jawabannya oleh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berikut ini:

1. Jika yang bercampur kebanyakan yang haram

Untuk harta yang bercampur antara halal dan haram jika yang haram lebih banyak, Imam Ahmad berpendapat bahwa sudah sepantasnya harta tersebut dijauhi kecuali sesuatu yang sedikit atau sesuatu yang sulit dikenali.

2. Jika yang bercampur kebanyakan yang halal

Untuk harta yang kebanyakannya itu halal, maka boleh digunakan dan boleh makan dari harta semacam itu. Ada riwayat dari Al Harits dari ‘Ali yang mendukung hal ini.

Alasan masih dibolehkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu dan para sahabat biasa bermuamalah dengan orang musyrik dan ahli kitab.

Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tahu kalau mereka tidak menjauhi yang haram seluruhnya.

3. Jika samar bagian antara harta halal dan haram

Jika sama bagian yang halal dan haram, maka itu jadi syubhat. Untuk wara’ atau kehati-hatian lebih baik ditinggalkan.

Sufyan berkata, “Aku tidak kagum dengan harta semacam itu. Yang kukagumi adalah meninggalkan harta semacam itu.”

Imam Ahmad punya pendapat untuk harta semacam ini, beliau mengatakan, “Jika harta yang haram itu banyak, harta tersebut dikeluarkan sesuai kadarnya dan sisanya boleh dimanfaatkan.

Ada pun jika harta tersebut sedikit, maka dijauhi seluruhnya. Karena kalau yang sedikit ini dihindari akan selamat dari yang haram, beda jika harta tersebut banyak.”

Sebagian ulama Hambali menganggap sikap Imam Ahmad di atas adalah dalam rangka untuk wara’ atau bersikap hati-hati terhadap yang haram.

Tetap saja masih boleh memanfaatkan sisa harta yang halal baik harta tersebut jumlahnya banyak atau sedikit setelah bagian yang haram itu dikeluarkan.

Namun jika suatu harta jelas diketahui sisi haramnya, yang haram tersebut jelas tidak boleh dimanfaatkan. (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 200 – 201). (*/tim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini