Konsep Dasar Pernikahan Dalam Islam Itu Monogami
foto: muslim.sg
UM Surabaya

Monogami adalah pernikahan dengan satu istri dan lebih banyak diterima dimasyarakat daripada poligami.

Sedangkan poligami adalah pernikahan jamak di mana seorang pria mengambil istri lebih dari satu, dan tinggal dengannya selama jangka waktu yang sama.

Masyarakat Islam terbelah antara menerima atau menolak poligami. Poligami menjadi perdebatan Sejak Kongres perempuan Pertama 1928 sampai sekarang.

Masyarakat Islam juga terjadi kontroversi karena sebagian kelompok percaya bahwa berpoligami diperbolehkan dalam Islam karena dituliskan dalam Alquran.

Ayat tentang monogami termaktub dalam Alquran. Allah berfiman:

“Dan jika kalian takut tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka nikahilah perempuan lain yang baik bagi kalian dua, tiga atau empat.

Namun jika kamu takut tidak bisa berlaku adil, maka nikahilah satu saja atau budak yang kamu miliki. Yang demikian adalah lebih mendekati bagimu dari tidak berbuat zalim” (QS. An Nisa’: 3).

Ada contoh situasi di mana ayat tersebut turun. Ayat ini turun sebagai respons terhadap kasus seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan yatim bukan karena cinta, tetapi semata-mata karena menginginkan harta yang dimiliki oleh perempuan tersebut.

Laki-laki tersebut juga bersikap kasar dan tidak adil terhadapnya. Sebagai tanggapan, Allah menurunkan ayat tersebut untuk mengingatkan manusia agar adil dalam perlakuan terhadap perempuan, terutama perempuan yang berada dalam posisi lemah seperti yatim.

Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa poligami juga mengandung risiko ketidakadilan.

Ayat tersebut juga mengingatkan bahwa adil dalam cinta antara beberapa istri adalah sesuatu yang mustahil.

Oleh karena itu, Alquran menekankan pentingnya tidak melampaui batas dengan memperlakukan salah satu istri lebih baik daripada yang lainnya.

Ibnu Abbas (diriwayatkan oleh al-Walibi): “Ayat ini (QS. An-Nisa: 3) juga mengandung makna: sebagaimana kalian takut tidak bisa adil terhadap anak yatim, maka takutlah pula tidak bisa adil terhadap perempuan, maka janganlah menikahi perempuan lebih dari kemampuanmu untuk memenuhi hak-hak mereka. Karena perempuan itu seperti yatim (sama-sama punya posisi lemah).”

Lebih dari itu, adil dalam cinta itu mustahil, hal ini disebutkan dalam firman Allah:

“Dan Kalian tidak akan pernah bisa berbuat adil di antara para perempuan (istri-istri) walaupun kamu berusaha sekuat tenaga.

Maka janganlah kamu terlalu condong hingga menjadikan yang lainnya seperti “digantung”.

Dan jika kamu berbuat baik dan bertakwa kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 129).

Nabi Muhammad SAW hidup secara monogami selama 25 tahun dalam pernikahannya dengan Khadijah. Sebuah hadis menyebutkan bahwa Nabi tidak pernah menikah selama masa perkawinannya dengan Khadijah sampai wafatnya istri pertamanya tersebut.

“Diberitakan oleh Abd bin Humaid, oleh Abdur Razzaq, oleh Ma`mar, dari Zahri, dari Urwah, Aisyah meriwayatkan bahwa nabi tidak pernah menikah selama bersama Khadijah sampai dia (Khadijah) meninggal.” (HR. Muslim).

Selain itu, Nabi juga pernah tidak mengizinkan poligami bagi putrinya, Fatimah.

Dalam sebuah hadis, Nabi menyampaikan bahwa ketika Bani Hisyam meminta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, Nabi tidak akan memberikan izin kecuali Ali bersedia menceraikan putri Nabi dan menikahi putri mereka.

Nabi menjelaskan bahwa Ali adalah bagian darinya, dan apa yang membuat Ali khawatir juga membuat Nabi khawatir serta apa yang menyakitinya juga menyakitkan Nabi.

Diberitakan oleh Qutaibah, oleh Laits dari Ibn Abi Mulaikah, dari Miswar bin Makhramah, “aku mendengar Rasulullah mengatakan saat Beliau di atas mimbar,

“Bani Hisyam memintaku untuk mengizinkan putri mereka menikah dengan Ali bin Abi Thalib, maka tidak akan aku izinkan 3x, kecuali Ali mau menceraikan putriku dan menikah dengan putri mereka, dia adalah bagian dariku, membuatku khawatir apa-apa yang membuatnya khawatir, dan apa-apa yang menyakitinya juga menyakitiku.” (HR. Bukhari dan Muslim). (*/tim)

(Disampaikan Prof. Alimatul Qibtiyah, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dalam Pengajian Tarjih, 5 Juli 2023)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini