Pengalaman Nabi Saw melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah mengajarkan tentang forward thinking.
Menurut Muhamad Rofiq Muzakkir, forward thinking berarti kemampuan untuk memproyeksikan dan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan dan keputusan saat ini.
Hal ini berarti melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan di masa depan serta merumuskan strategi untuk menghadapinya.
Ungkapan Rofiq di atas disampaikan dalam Pengajian Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat (15/7/2023) yang mengambil tema “Hijrah yang Berkemajuan”.
Menurutnya, pengalaman Nabi Saw hijrah merupakan momen paling dramatis dalam sejarah peradaban Islam.
Setelah Abu Thalib meninggal dunia, Nabi Saw telah memprediksi eskalasi persekusi terhadap umat Islam di Mekkah. Hal ini menjadi pertanda bahwa Nabi Saw merupakan seorang sosiolog ulung yang mampu membaca peta situasi dan kondisi masyarakat.
Akhirnya, Nabi Saw beserta para sahabatnya memutuskan untuk mencari suaka politik sekaligus menambah persaudaraan di Yatsrib.
Di awal pertama menginjakkan kaki di Yatsrib, Rasulullah Saw langsung mempersaudarakan golongan Muhajirin dan Ansar.
Menurut Rofiq, keputusan Nabi Saw untuk melakukan hijrah ini memberikan satu isyarat bahwa ia memiliki bayangan untuk menciptakan komunitas ideal di masa depan.
Pada kemudian hari terbukti bahwa daerah yang bernama Yatsrib ini menjadi Madinah, ibu kota peradaban Islam.
Hijrah merupakan peristiwa penting dalam sejarah Islam yang tidak hanya menggambarkan perpindahan fisik Nabi dan para sahabatnya, tetapi juga mencerminkan strategi dan visi yang kuat untuk membangun masyarakat yang ideal berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Kata Rofiq, peristiwa ini mendorong umat Islam untuk memiliki tujuan yang terencana tentang masa depan.
Dengan adanya tujuan, umat Islam dapat melalui perjalanan waktu yang telah mereka prediksi serta dapat merekayasa realitas mereka sendiri.
Pemahaman ini memotivasi umat Islam untuk menjadi proaktif dalam membentuk masa depan mereka sendiri sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Sebaliknya, masyarakat yang tidak memiliki tujuan, hanya akan berpindah dari satu krisis ke krisis lain yang tidak pernah mereka harapkan.
Tindakan mereka dalam menghadapi krisis itu hanya bersifat reaktif, bukan proaktif. Mereka merasa tak memiliki kendali atas masa depan, hanya menerima keadaan tanpa upaya untuk mengubahnya.
Upaya yang mereka lakukan dianggap tidak berpengaruh. Seperti melempar kerikil ke dalam sungai yang deras, itu hanya menciptakan riak kecil yang cepat hilang tanpa memberikan pengaruh yang signifikan pada aliran sungai.
Analogi ini menggambarkan masyarakat yang tidak memiliki tujuan berarti mereka tidak memiliki kekuatan untuk membentuk arah masa depan yang diinginkan.
Future Studies
Dalam dunia kesarjanaan Islam, memiliki perencanaan untuk membentuk realitas di masa depan disebut dengan future studies.
Dikembangkan para sarjana dari International Institute of Islamic Thought (IIIT) dan akademisi Inggris Ziauddin Sardar, future studies memiliki tiga elemen utama:
Pertama, future studies melibatkan penilaian terhadap masalah yang ada pada masa kini atau dalam studi Islam dikenal sebagai fiqh al-waqi’ (hukum terkait realitas saat ini).
Hal ini mencakup pemahaman mendalam tentang tantangan dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, future studies melibatkan analisis tren linier dari masalah tersebut hingga ke masa depan.
Ini melibatkan melihat perkembangan dan perubahan dalam tren sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta meramalkan bagaimana tren tersebut dapat berkembang di masa yang akan datang.
Ketiga, future studies melibatkan pembuatan skenario perubahan. Ini berarti merancang berbagai kemungkinan dan alternatif yang mungkin terjadi di masa depan, serta mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing skenario tersebut.
Tujuannya adalah untuk membantu mengarahkan tindakan dan kebijakan yang dapat membentuk masa depan yang diinginkan.
Dengan menggunakan pendekatan future studies, para sarjana dan pemikir Islam berusaha untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang realitas masa kini dan merencanakan tindakan yang proaktif untuk membentuk masa depan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Ini melibatkan analisis mendalam tentang tantangan yang dihadapi oleh umat Islam serta merumuskan strategi dan kebijakan yang relevan untuk menghadapinya.
Al-Turats
Selain studi tentang masa depan, Rofiq juga menyampaikan bahwa umat Islam perlu untuk mendalami tradisi intelektual Islam pada masa lalu atau al-turats. Umat Islam perlu memandang masa lalu secara optimistis.
Jika mengabaikan masa lalu, umat Islam akan mengalami apa yang disebut dengan rupture from the past.
Pemutusan dengan masa lalu memungkinkan umat Islam akan kehilangan warisan pengetahuan, pemikiran, dan pengalaman berharga yang ada dalam tradisi intelektual Islam, sehingga melahirkan apa yang disebut dengan epistemic rupture.
Dengan demikian, Rofiq mengajak untuk melakukan ekskavasi atau menggali kembali kekayaan pemikiran di dalam turats.
Hal ini penting karena turats memiliki beberapa relevansi yang signifikan: pertama, turats memiliki jumlah karya yang sangat banyak, yang mencakup berbagai disiplin ilmu seperti teologi, hukum Islam, filsafat, sastra, dan sejarah.
Kekayaan ini memberikan akses kepada umat Islam untuk mempelajari dan menggali pengetahuan yang luas dan mendalam.
Kedua, karya-karya dari para ulama terkemuka dalam turats memberikan dasar otoritatif dan legitimasi bagi pemahaman dan praktik keagamaan.
Ketiga, dengan mempelajari turats, umat Islam tidak perlu memulai dari awal dalam mencari pemahaman dan solusi terhadap masalah kontemporer, karena mereka dapat membangun pengetahuan di atas fondasi yang telah ada.
Keempat, turats telah mapan dalam sejarah Islam, meliputi periode paska Rasulullah hingga akhir abad ke-19.
Hal ini menunjukkan keberlanjutan dan relevansi yang terjaga dari pemikiran dan pandangan yang diungkapkan dalam turats selama berabad-abad.
Kelima, turats merupakan bagian yang otentik dan organik dari sejarah Islam itu sendiri. Ini berarti pemikiran dan ide-ide yang terkandung dalam turats adalah refleksi dari pengalaman, pemahaman, dan perkembangan intelektual masyarakat muslim sepanjang sejarah.
Keenam, pemikiran yang terdapat dalam turats tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan pemahaman teoritis, tetapi juga menekankan pada aspek moral dan etika dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Kombinasi Future Studies dan al-Turats
Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah mengajarkan umat Islam untuk mempelajari future studies sekaligus mendalami al-turats.
Dengan future studies, umat Islam dapat memahami tantangan dan tren masa depan, serta merencanakan tindakan yang proaktif untuk menghadapinya.
Mereka dapat menganalisis masalah yang dihadapi saat ini, melihat tren yang berkembang, dan membuat skenario perubahan yang mungkin terjadi.
Hal ini membantu umat Islam merencanakan langkah-langkah yang sesuai dengan visi dan prinsip-prinsip Islam untuk mencapai masa depan yang diinginkan.
Di sisi lain, melalui al-turats, umat Islam dapat mengeksplorasi warisan pemikiran dan pengetahuan yang ada dalam tradisi intelektual Islam masa lalu.
Mereka dapat mempelajari karya-karya ulama terdahulu, memahami konsep-konsep klasik dalam Islam, dan mengambil hikmah dari pengalaman masa lalu.
Pemahaman ini memberikan fondasi yang kuat dan otoritatif untuk memandu langkah-langkah dalam merencanakan masa depan sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
Dengan mengombinasikan future studies dan al-turats, umat Islam dapat mengintegrasikan pemahaman tentang masa depan dengan kekayaan pemikiran masa lalu.
Mereka dapat merencanakan dan mengambil tindakan yang strategis, dan berdasarkan pada ajaran Islam yang otentik.
Hal ini memungkinkan umat Islam untuk menghadapi masa depan dengan visi yang kuat, pengetahuan yang mendalam, dan kebijaksanaan yang berasal dari tradisi intelektual Islam yang sangat mengagumkan. (*)
Penyusun: Ilham Ibrahim (muhammadiyah.or.id)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News