sinau hidup dari para sufi
sinau hidup dari para sufi
UM Surabaya

Majelistabligh.id – “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut akan Neraka, maka bakarlah aku di Neraka, dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan Surga, usir aku dari Surga, tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata (mardhatillah), jangan jauhkan keindahan abadi-Mu dariku” (Doa Rabia’ah al-‘Adawiyah).

Rabi’ah al-‘Adawiyah adalah salah satu tokoh Sufi perempuan termasyhur dalam sejarah kesufian di dunia Islam. Rabi’ah al-‘Adawiyah dianggap sebagai pelopor konsep Cinta Ilahi dalam ilmu mistik Keislaman (ilmu tasawuf).

Nama lengkapnya adalah Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah terkenal dengan nama Rabi’ah al-‘Adawiyah. Rabi’ah al-‘Adawiyah terlahir dalam keluarga sederhana dan ia dijual sebagai budak sewaktu masih anak-anak. Pada akhirnya Rabi’ah al-‘Adawiyah tinggal di Basrah (Irak), tempat dirinya memperoleh kemasyhuran sebagai tokoh Sufi sekaligus penceramah dan dipandang terhormat oleh teman-teman sezamanya.

Rabi’ah al-‘Adawiyah hidup melajang seumur hidup. Ada beragam pendapat atas tahun kematiannya mulai dari 135 H (752 M) dan 185 H (801M), konon makamnya berada di daerah dekat Yurussalem (Palestina).

Kelahiran dan Kehidupa Rabi’ah al-‘Adawiyah.

Rabi’ah al-‘Adawiyah adalah sufi perempuan yang sering dipertanyakan status gendernya. Jika ada yang bertanya, “mengapa engkau mensejajarkan Rabi’ah al-‘Adawiyah dengan kaum lelaki? “jawabanku adalah bahwa Rasulullah bersabda, “ Allah tidak memandang rupa mu”. Akar masalahnya bukan rupa, melainkan niat, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah, “Manusia akan di muliahkan sesuai dengan niat di dalam hati mereka”.

Jika kita bisa menerima 2/3 ajaran agama dari Aisyah r.a, maka sudah tentu kita bisa menerima petunjuk-petunjuknya. Ketika seorang perempuan menjadi “lelaki” di jalan Tuhan, maka Ia sejajar dengan kaum lelaki dan kita tidak dapat pantas lagi mempertanyakan keperempuanya.

Keluarga Rabi’ah al-‘Adawiyah adalah keluarga yang sangat miskin. Pada malam kelahiran Rabi’ah al-‘Adawiyah, di rumahnya tidak ada apa pun yang ada di dalam rumah ayahnya, bahkan setetes minyak saja tidak ada untuk mengurapi pusarnya, tidak ada lampu, tidak ada kain untuk membendugnya.

Ayah Rabi’ah sudah memiliki tiga putri, dia adalah putri keempat makanya di kasih nama Rabi’ah.

Kata istrinya (Ibu Rabi’ah), “pergilah ke tetangga kita si fulan dan mintalah setetes minyak, supaya aku bisa menyalakan lampu”. Akan tetapi Si Suami (Ayah Rabi’ah) telah bersumpah tidak akan meminta sedikitpun dari orang lain, namun Ia tetap pergi berpura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah tetangganya kemudian balik pulang. “mereka tidak mau membuka pintunya”, lapornya. Istrinya yang malang itu menangis dengan susah hati.

Dalam keadaan cemas Ayah Rabi’ah, menyelipkan kepala di antara lutut dan tertidur. Ia bermimpi, “Jangan bersedih, bayi perempuan yang baru lahir itu adalah ratu di antara kaum perempuan yang akan menjadi perantara bagi 70.000 kaumku besok. Datangailah Isa az-Zadan (Gubernur Basrah Irak).

Pada selembar kertas, tulislah kata-kata berikut: “Setiap malam engkau mengirimkan seratus shalawat kepadaku dan setiap malam Jum’at sebayak empat ratus. Kemarin adalah malam Jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu berikanlah empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal kepada orang itu”.

Ayah Rabi’ah terbangun dalam keadaan bersimbah air mata. Ia pun bergegas menuliskan surat dan menyerahkan surat itu kepada Gubernur, lewat perantaraan pengurus rumah tangga Istana.

Kemudian Gubernur membaca dan mengatakan “Sedehkan dua ribu dinar kepada fakir miskin”, sebagai bentuk rasa syukurku, karena junjungan kita (Nabi Muhammad) mengingatku. Berikan pula kepada tuan tadi empat ratus dinar, dan katakan kepadanya, “Aku harap engkau datang kepadaku sehingga akau dapat melihatmu.

Tetapi aku meresa tidak pantas jika seseorang sepertimu datang menemuiku. Aku lebih suka jika akulah yang datang dan menyeka rumahmu, namun demi Allah, aku memohon kepadamu, apap pun yang engkau butuhkan, katakanlah kepadaku”.

Kemudiam ayah Rabi’ah menerima uang itu dan membelanjakan apa pun kebutuhanya.
Ketiaka agak dewasa Rabi’ah al-‘Adawiyah, kedua orang tuanya meninggal dunia. Pada saat itu terjadi kelaparan luas di Basrah, Ia dan kakak-kakaknya terpisah.

Ketika Rabi’ah al-‘Adawiyah keluar rumah Ia diculik orang-orang jahat dan menjualnya seharga enam dirham. Dan si pembeli (majikanya) menyuruh Rabi’ah al-‘Adawiyah melakukan pekerjaan yang berat.

Suatu hari pada saat dia keluar rumah di dekati orang asing, Rabi’ah lari dan tersungkur dan tanganya terkilir, lalu Rabi’ah kembali ke rumah majikannya. Pada siang hari dia berpuasa dan beribadah kepada Allah, pada malam hari ia terus sholat sampai fajar.

Pada suatu malam majikanya terbangun dari tidur dan melalui jendelanya dilihatnya Rabi’ah yang sedang sujud dan berdoa kepada Allah: “Ya Allah Engkau tahu bahwa hasratku dihatiku adalah untuk dapat memenuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. Jika aka dapat merubah nasibku ini, maka aku tidak akan beristirahat barang sebentar dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan sesorang makhluk ciptaan-Mu”.

Si majikan melihat sendiri sebuah lentera tergantung tanpa rantai di atas kepala Rabi’ah, cahayanya menerangi seluruh rumah. Menyaksikan peristiwa tersebut si majikan merasa takut.

Ia lalu beranjak ke kamar tidur dan dan duduk termenung hingga fajar tiba. Begitu hari sudah siang ia memanggil Rabi’ah dengan bersikap lemah lembut dan kemudian membebaskanya. Kemudiaan Rabi’ah minta izin meninggalkan rumah si majikan dan pergi berkelana dan di situlah awal perjalanan kesufian Rabi’ah al-‘Adawiyah.

Doa-Doa Rabi’ah al-‘Adawiyah
“Ya Allah, apa pun yang akan engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa pun yang akan engakau karuiakan di akherat nanti kepadaku, berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu, karena Engkau sendiri (Allah) cukup bagiku”.

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut akan Neraka, maka bakarlah aku di Neraka, dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan Surga, usir aku dari Surga, tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata (mardhatillah), jangan jauhkan keindahan abadi-Mu dariku”.

Ya Allah, segala upaya dan keingnanku di dunia ini, dan segala kesenangan yang ada di dunia ini, adalah untuk mengingat-Mu, dan di akherat nanti dari segala hal yang akan datang di akherat nanti adalah untuk menemani-Mu. Inilah diriku yang sebenarnya, seperti yang telah kunyatakan, sekarang berbutalah seperti yang Engkau kehendaki”.

Dari kisah ini kita dapat Sinau (belajar): 1) bahwa kemulian (derajat) manusia tidaklah ditentukan (diukur) oleh banyaknya harta kekayaan, status sosialnya, bentuk rupanya (fisik), dan besarnya kekuasaan (jabatan) yang dimiliki, tetapi kemulian (derajat) manusia itu ditentukan oleh kualitas ibadah kepada Allah SWT dan kualitas akhlaqnya memperlakukan sesama makhluq ciptaan Allah SWT (manusia dan alam) secara baik dan beradab.

2) Yang hanya mengetahui makna (hakekat) dari tujuan fikiran dan prilaku manusia yang sebenarnya hanyalah manusia sendiri dan Allah SWT, bukan manusia lainnya, maka manusia tidak berhak menilai ibadah atau keimanan seseorang dengan pikiran dan prasangka dengan menjust kafir, sesat dan sebagainya.

Sehingga, niat yang terletak di hati mempunyai posisi yang sangat penting dalam mengukur (standart) dari perbuatan manusia dalam segala hal termasuk beribadah, sehingga Allah SWT akan menilai semua prilaku manusia dari niat yang ada dalam hatinya.

3) Dalam beribadah niat yang bener dan lurus adalah di niatkan untuk mencapai keridhaan Allah (mardhatillah) sebagai Sang Pencipta dan Sang Maha Kuasa, bukan ditujukan kepada ciptaannya (makhluq-Nya) dengan tujuan masuk Surga dan menghindari dari api Neraka.

Maka dalam kehidupan dunia fana ini, mari tetap kita jaga niat lurus kita, bahwa tidak ada tempat bergantung yang paling kuat kecuali bergantung kepada Allah SWT, dan tidak ada tempat kepasrahan paling total kecuali kepasarahan kepada Allah SWT.

Jadikalah hanya Allah sebagai sebaik-baik penolong dan pelindung dalam kehidupan dunia fana ini.

Baca Juga : Sinau Hidup dari Para Sufi (1): Hasan Al Basri

Semoga dalam menghadapi wabah Covid-19 kita termasuk orang-orang optimis dan tawakal kepada Allah SWT, dan semoga wabah ini segera diangkat kembali kehariban Ilahi Rabbi. Amin.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya
kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”

* Kisah ini diambil dari Kitab, Tadzikiratul Auliyah, karya, Fariduddin Attar.

Penulis: Gus Sholikh Al-Lamongani, Dosen FAI UMSurabaya & Anggota Majelis Tabliq Muhammadiyah Jatim

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini