sinau hidup dari para sufi
sinau hidup dari para sufi
UM Surabaya

Majelistabligh.id – “Tidak dikenal di bumi, tapi terkenal di langit.” Demikian Ibrah dari kecintaan dan kebaktian Uwais al-Qarni kepada Sang Ibu.

Uwais Al-Qarni ini merupakan pemuda yang hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dia tinggal di negeri Yaman. Dia tidak disebut sebagai sahabat Nabi, karena selama hidupnya belum pernah bertemu dengan Nabi walaupun Ia hidup sezaman.

Uwais Alquran merupakan salah satu tabi’in, karena bertemu dengan para sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling unik dan terkenal kesalehannya.

Uwais Al-Qarni begitu istimewa dan menjadi buah bibir di kalangan para Sahabat dekat Nabi Muhammad, terutama Umar ibn Khattab dan Ali bin Abi Thalib, karena Nabi Muhammad pernah berkata tentang Uwais Al-Qarni yang disebut “tidak dikenal di bumi tetapi terkenal di langit” dan doa-doanya sangat mustajabah, maka jika engkau bertemu dengannya maka mintalah di doakan.

Uwais Al-Qarni merupakan seorang fakir dan yatim. Ia hidup bersama ibunya yang lumpuh dan buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.

Uwais Al-Qarni yang bekerja sebagai penggembala domba hanya cukup untuk makan ibunya dari hasil usahanya.

Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.

Uwais Al-Qarni dikenal sebagai anak yang taat beribadah dan patuh pada ibunya. Ia pun sering kali puasa dan gemar salat malam.

Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah.

Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah.

Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni.

Segera Uwais mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.

Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.

Tetapi, di sisi lain, Ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh. Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian?

Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.

Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah.

Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata:

“Pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”

Betapa gembiranya hati Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat.

Namun, ia tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.

Uwais Ai-Qarni Pergi ke Madinah

Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga di kota madinah. Segera ia mencari rumah Nabi Muhammad saw.

Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya.

Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan posisi Nabi Muhammad SAW yang ingin dijumpainya.

Namun, ternyata Nabi tidak berada di rumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi Muhammad SAW.

Betapa kecewanya hati Uwais Al-Qarni. Sebab, dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi Muhammad SAW, tetapi Nabi Muhammad SAW tidak dapat dijumpainya.

Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang?

Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “Engkau harus lekas pulang,” pesan ibunya.

Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW.

Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi Muhammad SAW.

Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.

Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi Muhammad SAW menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya.

Nabi mengatakan bahwa “Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit”.

Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi Muhammad SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan, sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya. “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”

Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab seraya berkata, “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istigfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”

Waktu terus berganti, dan Nabi Muhammad SAW kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, Khalifah Umar bin Khattab teringat akan sabda Nabi Muhammad SAW tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit.

Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari?

Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia?

Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka.

Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka.

Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.

Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang salat.

Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam Khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw.

Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni. Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya.

Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.”

Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al-Qarni”.

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu.

Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan doa dan istigfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “Saya lah yang harus meminta doa pada kalian.”

Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.”

Seperti yang dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istigfar.

Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”

Keajaiban Ketika Uwais Al-Qarni Wafat

Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya.

Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya.

Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.

Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan.

Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang.

Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.

Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta?

Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.

Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”

Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni.

Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia.

Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.

Hikmah Dari Kisah Uwais Al-Qarni

Dari kisah ini kita dapat sinau (belajar) tentang makna kehidupan di dunia yang fana ini.

Pertama, kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW menjadikn terbangun sambung rasa yang luar biasa antara kita dengan Nabi Muhammad SAW.

Sehingga, menjadikan Nabi Muhammad memberikan syafaat bagi kita yang mencintainya secara tulus dan sepenuh hati.

Maka untuk saat ini, mewujudkan cinta dan ketulusan hati kita kepada Nabi Muhammad SAW adalah dengan berikhtiar sekuat tenaga (raga dan jiwa) mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW, serta sering memberikan doa dan selawat kepadanya.

Kedua, janganlah pernah meremehkan orang dari tampilan (fisik-baju) dan status sosial orang karena pekerjaannya, (seperti, penggembala, gembel, pengemis, tukang cukur, pemulung, sopir, PKL jalanan, Satpam, OB, Tukang Becak, dll) yang di mata manusia, mereka orang lemah, hina karena tidak berharta dan berkuasa.

Namun, pandangan mata manusia bisa salah, belum tentu orang yang memandang hina lebih baik daripada mereka yang dipandang hina.

Bisa saja mereka ini (kaum mustdh’afin) di mata Allah SWT dan Nabi SAW lebih mulya derajat hidupnya karena ketaatan dan kecintaanya kepada Allah SWT dan Nabinya, serta kebaikan akhlaqnya dengan sesama makhluk ciptaan-Nya (Manusia dan Alam), sehingga penduduk Surga sudah menantinya.

Ketiga, nilai atau derajat tertinggi dalam akhlaq Islam adalah berbakti kepada orang tua terutama kepada sang Ibu.

Posisi Ibu sangat sentral dalam Islam, bahkan Nabi dalam sabdanya mengatakan berbakitilah kepada Ibu, Ibu, Ibu (3x) baru kepada Ayahmu.

Hal itu dikarenakan peran Ibu sangat luar biasa besar dan berat dalam mengawal perjalan hidup kita, mulai dari mengadung bertaruh nyawa, merawat, mendidik tanpa kenal lelah dengan sepenuh raga dan jiwa.

Sampai ada makhfudhot mengatakan “Surga ada dibawah telapak kaki Ibu”, selain itu dalam firman Allah SWT, disebutkan rida-Ku dan murka-Ku tergantung dari keridhaan dan kemurkaan Ibumu, sehingga doa dan ucapanya bagaikan “karma” yang dapat mempengaruhi hidupmu.

Baca Juga : Sinau Hidup dari Para Sufi (2): Rab’iah Al ‘Adawiyah

Artinya, kebahagiaan dan ketidakbahagaiaan hidupmu salah satu faktor terbesar adalah keridhaan ibumu.

Maka berbaktilah kepada Ibumu dengan sepenuh hati dan jiwa. Jangan pernah kamu jadikan kesalahan ibumu membuat dirimu memusuhi Ibumu dengan tidak menyapa, tidak bersilaturahim bahkan mengguncingnya di hadapan teman-temanmu.

Dan jika itu yang kamu lakukan, maka kamu tidak akan “dikenal langit dan diterima bumi”.(*)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini