Mengurai Stigma Status Sosial Ekonomi dalam Dunia Pendidikan
foto: shutterstock
UM Surabaya

*)Oleh: Genis Dwi Gustati
Content Writer

Bangunan kecil hingga megah yang di dalamnya terisi deretan meja-kursi, atau bahkan tikar yang bergelaran dengan rapi seakan menjadi tempat bernaung paling sempurna dari virus kebodohan.

Sebuah papan tulis pun seolah berdiri kokoh menanti senyum hangat seorang pendidik yang diharapkan mampu menghidupkan asa anak-anak dalam memperjuangkan mimpinya.

Semua orang menjuluki tempat ini ‘sekolah’, dan sebagian dari mereka menyeru, “Dari ‘sekolah’ lah pendidikan dimulai”.

Pendidikan sejatinya bertujuan untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, karena pengaruhnya yang besar dapat menentukan kemajuan Indonesia.

Salah satu indikator pendidikan yang wajib mendapatkan perhatian serius adalah performa belajar siswa yang lazimnya disimbolkan dalam bentuk angka atau huruf untuk mengukur kemampuan mereka dalam menguasai materi.

Dalam dunia pendidikan, perkembangan pengetahuan siswa merupakan sebuah perjalanan yang melibatkan berbagai faktor, termasuk status sosio-ekonomi (status sosial ekonomi).

Status sosial ekonomi adalah tinggi rendahnya prestise yang dimiliki seseorang berdasarkan kedudukan yang dipegangnya dalam suatu masyarakat sekaligus kepemilikan materi.

Status sosial ekonomi keluarga kerap dilabeli sebagai faktor paling kuat dalam memengaruhi prestasi akademik siswa.

Isu tersebut lantas mengundang rasa penasaran Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Muhammad Abduh, S.Pd., M.Pd. untuk menyelidiki keabsahannya.

Melalui penelitian bertajuk “In What Ways Students’ Socio-economic Status Affecting Academic Performance?”, ia mengeksplorasi bagaimana status sosial ekonomi dalam memengaruhi performa akademik siswa.

Penelitian ini berhasil mengukir jejak di International Journal of Evaluation and Research in Education terindeks Scopus Q2.

Bantuan Finansial Bukan Solusi Terbaik

Segudang pertanyaan yang menumpuk di kepala akhirnya terjawab ketika kami berhasil menemui sosok Pak Abduh di Kantor PPG UMS, Rabu (1/11/2023).

“Memang benar ada semacam pengaruh. Selama ini persepsi orang mengatakan siswa miskin itu dibantu dengan beasiswa misalnya, atau PIP (Program Indonesia Pintar), atau bantuan dana lainnya. Ternyata jika dikaitkan dengan performa akademik tidak berpengaruh banyak. Justru ada faktor-faktor lain yang lebih kuat dalam memengaruhi performa akademik siswa dengan status sosial ekonomi rendah,” ungkap Pak Abduh.

Keterangan yang kami dapatkan dari Dosen PGSD tersebut menggarisbawahi pentingnya memilah tindakan yang tepat untuk mendampingi siswa dengan status sosial ekonomi rendah. Karena menurutnya, bantuan finansial tak selamanya menjadi solusi terbaik.

“Status sosial ekonomi di dunia pendidikan merupakan isu yang sudah muncul sejak lama. Dari beberapa referensi yang saya pelajari, ada bahasan menarik terkait sudut pandang akademis dari siswa, orang tua, dan guru,” tambahnya.

Konsep Diri

Mayoritas siswa dengan status sosial ekonomi yang rendah menganggap dirinya berbeda dari siswa lain.

Realitasnya, tidak semua dari mereka dapat mengatasi situasi tersebut, terlebih jika terdengar cemooh yang menekankan bahwa kasta mereka dengan siswa lain berbeda hanya karena bantuan biaya sekolah.

“Siswa yang menerima bantuan biaya pendidikan cenderung merasa malu dan berbeda dengan siswa lainnya,” tutur Pak Abduh berdasarkan data.

Secara tidak langsung, imbuhnya, siswa dengan status sosial ekonomi rendah memiliki konsep diri sebagai siswa yang berbeda dalam arti negatif.

Tanpa adanya perhatian dan pengarahan segera, konsep diri yang demikian justru menimbulkan tekanan pada diri siswa.

“Yang bahaya adalah ketika masalah ini memicu stres, dan tingkat stres akan menjadi faktor yang memengaruhi motivasi belajar siswa. Kalau motivasi belajar hilang? Tentu mereka akan mengalami kegagalan akademik,” jelasnya.

Memaksimalkan Peran Guru

Perbincangan kami dengan Pak Abduh diselimuti perasaan haru tatkala menyinggung ketidakberuntungan siswa-siswa miskin yang sering kali menimba ilmu di sekolah yang kekurangan tenaga pendidik.

“Guru itu memainkan peran penting, karena mereka adalah representasi orang tua di sekolah. Sebagai representasi orang tua, sudah sepatutnya guru memahami berbagai latar belakang siswanya, khususnya siswa dengan status sosial ekonomi rendah,” harap Pak Abduh.

Dosen FKIP itu menyimpulkan guru profesional adalah guru yang selalu memiliki persepsi dan asumsi positif kepada tiap siswanya tanpa kecuali. Guru harus meyakini semua siswa mempunyai kemampuan intelektual.

“Selain itu, pemahaman guru terhadap latar belakang siswa akan menjadi modal awal perancangan pendidikan yang bermutu. Pengajaran berkualitas tinggi sangat perlu dikerahkan di sekolah yang terletak di lingkungan sosial ekonomi rendah, yang mana sebagian besar siswa di sana memerlukan perhatian akademis yang lebih besar,” tuturnya penuh iba.

Pola Asuh Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar

Salah satu temuan di penelitian Pak Abduh yang mencuat adalah pola asuh orang tua terhadap motivasi belajar siswa.

Mental pesimis orang tua berdampak pada asa belajar siswa yang redup, semacam kalah sebelum bertanding. Semangat mereka gembos, seperti hilang ambisi.

“Orang tua siswa dengan status sosial ekonomi rendah pikirannya sudah dihantui pertanyaan-pertanyaan semacam, ‘Hari ini keluargaku makan apa ya?’. Mereka akan lebih mengutamakan kebutuhan sehari-hari daripada menyediakan fasilitas belajar yang memadai bagi anaknya,” ujar Dosen FKIP itu.

Rata-rata keluarga dengan status sosial ekonomi rendah sering kali bekerja sepanjang waktu untuk mengurus keluarganya hingga mereka tak mempunyai banyak waktu untuk berpartisipasi dalam pendidikan anak-anaknya.

Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan kecenderungan pola asuh orang tua yang memiliki status sosial ekonomi tinggi.

“Orang tua yang mampu secara ekonomi akan mencurahkan lebih banyak perhatian untuk mendidik anak-anaknya. Mereka menunjukkan antusiasme dan dukungan emosional yang bisa menjadi penyemangat anak-anaknya dalam meningkatkan prestasi akademik. Selain mampu secara ekonomi, latar belakang pendidikan orang tua yang tinggi sangat memungkinkan mereka untuk mendampingi anak-anak yang menunjukkan kesulitan belajar.”

Rendahnya pendidikan orang tua menyiratkan prasangka bahwa pendidikan tak begitu penting. Bagi mereka yang terpenting adalah anak dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.

Adakalanya orang tua dengan status sosial ekonomi rendah beranggapan sekolah hanya sekadar rutinitas belaka tanpa memikirkan implikasi jangka panjangnya.

Untuk itu, perlu adanya sinergi positif antara orang tua dan guru sehingga mereka bisa memberikan penanganan terbaik kepada siswa dengan status sosial ekonomi rendah untuk mencegah kegagalan prestasi akademik.

Penelitian Lanjutan

Ketika dialog kami telah sampai di penghujung cerita, Pak Abduh kembali mengingatkan betapa pentingnya pendidikan bagi semua orang.

Mungkin sebagian dari kita tidak menyadari bahwa isu ketidaksetaraan pendidikan di lingkungan sekitar masih terabaikan, lebih fatal apabila guru dan orang tua tidak berperan bijak.

“Ketidakesetaraan dalam pendidikan adalah sebuah keniscayaan, tidak bisa diapa-apakan. Hal itu lantas memicu adanya stigma negatif, salah satunya performa akademik yang rendah, motivasi yang rendah, atau lain sebagainya. Saya berharap bisa menemukan pola-pola terkait bagaimana guru menangani siswa yang status sosial ekonominya rendah di penelitian selanjutnya yang sekarang masih dalam proses.”

Sebagai penutup, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) melalui Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, harapannya, dapat menjadi promotor pendidikan berkualitas untuk semua kalangan tanpa terkecuali. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini