Agung Danarto: Tidak Semua Budaya Bertentangan dengan Muhammadiyah

Agung Danarto: Tidak Semua Budaya Bertentangan dengan Muhammadiyah

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Agung Danarto menyoroti fenomena yang masih terjadi di kalangan warga Muhammadiyah terkait cara pandang mereka terhadap budaya. Menurutnya, masih terdapat kesalahpahaman dalam memahami relasi antara budaya dan agama.

Kesalahan ini mengakibatkan sebagian warga Muhammadiyah bersikap menjauh, atau bahkan menolak budaya secara keseluruhan. Mereka menganggap bahwa kedekatan antara agama dan budaya dapat melahirkan praktik yang dianggap sebagai tahayul, bid’ah, dan khurafat (TBC).

Agung Danarto menjelaskan bahwa pola pikir semacam ini muncul akibat pengaruh ajaran Islam puritan yang berakar pada pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, yang lebih dikenal sebagai Wahabisme.

Dalam pandangan Islam puritan, segala bentuk tradisi dan budaya yang tidak ada pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat dianggap sebagai sesuatu yang harus dihilangkan.

Mereka berpendapat bahwa Islam harus kembali ke bentuk yang paling murni seperti pada zaman Nabi, tanpa ada tambahan yang bersumber dari budaya lokal.

“Islam puritan menekankan penghapusan berbagai hal yang berkaitan dengan tradisi dan budaya, dengan tujuan mengembalikan Islam ke bentuk aslinya sebagaimana yang diamalkan pada masa Nabi dan sahabat. Segala sesuatu yang tidak ada pada zaman itu sering dianggap sebagai bid’ah,” jelasnya seperti dilansir di laman resmi PP Muhammadiyah, Kamis (6/3/2025).

Namun, di sisi lain, Agung Danarto juga mengungkapkan adanya perspektif lain dalam Islam, yaitu Islam modernis yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Berbeda dengan pendekatan Islam puritan yang lebih tekstual, kelompok Islam modernis memiliki metode tersendiri dalam memahami dan menafsirkan nash (teks suci).

Mereka tidak hanya berpegang pada makna harfiah suatu teks, tetapi juga melihat relevansinya dalam kehidupan masyarakat yang terus berkembang.

Pendekatan Islam modernis, menurut Agung, berusaha melakukan verifikasi terhadap nash dengan tetap menjadikannya sebagai rujukan utama, namun dengan pemahaman yang lebih kontekstual.

Mereka berusaha menjadikan Al-Qur’an dan hadis tetap relevan dengan kehidupan modern, tanpa harus bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Dengan demikian, tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat tidak serta-merta ditolak, tetapi dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan nilai-nilai Islam.

Sebagai seorang pakar hadis, Agung Danarto menekankan bahwa istilah bid’ah atau inovasi tidak boleh digunakan secara serampangan untuk menolak berbagai bentuk perkembangan di masyarakat, termasuk dalam bidang pengetahuan, filsafat, dan ilmu politik.

“Bid’ah seharusnya dipahami bukan hanya dalam bentuk praktik, tetapi juga dalam konteks nilai-nilai moral dan karakter yang terkandung dalam ajaran Islam,” tegasnya.

Dalam hal ini, Agung mengacu pada firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13, yang menegaskan tentang keberagaman budaya, suku, dan bangsa yang merupakan bagian dari kehendak Allah.

Oleh karena itu, budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam seharusnya tidak dihindari atau dihapuskan, tetapi justru dipahami dan diselaraskan dengan ajaran Islam. Islam tidak menolak budaya secara keseluruhan, melainkan menyeleksi dan menyesuaikannya agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

“Eksistensi berbagai budaya adalah sesuatu yang diakui dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, keberagaman manusia dalam bentuk suku, bangsa, dan budaya merupakan bagian dari sunnatullah. Oleh karena itu, budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam harus diterima dan dihargai. Islam bukanlah agama yang anti-budaya, tetapi agama yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman,” papar Agung.

Dengan demikian, dia mengajak warga Muhammadiyah untuk lebih bijak dalam memahami relasi antara agama dan budaya. Tidak semua budaya harus ditolak, apalagi jika budaya tersebut selaras dengan ajaran Islam.

Sebaliknya, budaya yang membawa manfaat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam justru dapat menjadi bagian dari kehidupan umat Muslim. Hal ini penting agar Islam tetap relevan dan dapat berkembang di berbagai konteks masyarakat tanpa kehilangan esensinya sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. (*/wh)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *