Sungguh memilukan jika kelak di akhirat, kita tidak dapat berkumpul kembali bersama orang-orang yang kita cintai, terutama antara orangtua dan anak.
Bayangkan, betapa sedihnya jika perpisahan itu terjadi bukan karena jarak, melainkan karena perbedaan nasib akhirat yang disebabkan oleh kelalaian kita dalam menanamkan nilai-nilai Islam selama hidup di dunia.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Karena bisa jadi, saat di dunia, kita tidak berupaya secara maksimal untuk menanamkan ajaran dan syariat Islam kepada anak-anak kita.
Kita lalai dalam mengarahkan mereka pada jalan yang lurus, tidak membiasakan mereka mencintai ibadah, tidak memberi contoh dalam menjalankan perintah agama, dan tidak menjadikan agama sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sebagai orang tua, seyogianya kita sadar akan tanggung jawab besar ini. Kita memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk menuntun anak-anak mengenal, mencintai, dan mengamalkan ajaran Islam.
Proses ini tentu tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan memerlukan waktu, kesabaran, serta keistiqamahan dalam proses internalisasi dan transformasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim, sebuah karya klasik yang sangat masyhur dalam dunia pendidikan Islam, disebutkan bahwa ada enam syarat penting untuk meraih ilmu, khususnya ilmu syariat. Imam al-Zarnuji, penulis kitab tersebut, menjelaskan dalam syairnya:
اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِســــِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ، وَاِرْشَادُ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
“Ketahuilah bahwa engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam hal, dan aku akan menjelaskannya secara rinci, yaitu: kecerdasan, semangat, kesabaran, bekal, bimbingan guru, dan waktu yang lama.”
Enam syarat tersebut adalah:
1. Kecerdasan (dzakā’un)
Bukan hanya berarti IQ tinggi, tetapi mencakup kemampuan berpikir kritis, kepekaan hati, dan keterbukaan pikiran dalam menerima ilmu dan kebenaran.
2. Kemauan (ḥirṣun)
Potensi tanpa kemauan tidak akan menghasilkan apa-apa. Anak-anak perlu dibiasakan memiliki tekad dan semangat untuk terus belajar dan mencari ilmu, bahkan saat menghadapi tantangan.
3. Kesabaran (iṣṭibār)
Dalam menuntut ilmu, akan banyak tantangan yang menghadang—baik rasa bosan, lelah, maupun godaan dunia. Maka, penting untuk menanamkan sikap sabar dan tahan uji kepada mereka.
4. Bekal (bulghah)
Setiap perjalanan memerlukan bekal. Dalam menuntut ilmu, bekal ini mencakup kebutuhan hidup, fasilitas belajar, hingga lingkungan yang mendukung.
5. Bimbingan Guru (irsyādu ustādzin)
Guru merupakan sosok penting dalam perjalanan ilmu. Mereka bukan hanya menyampaikan materi, tetapi juga membimbing akhlak, membentuk karakter, dan menjadi teladan.
6. Waktu yang Lama (ṭūl az-zamān)
Ilmu tidak bisa diperoleh dalam sekejap. Butuh proses panjang, konsistensi, dan pengulangan. Karena itu, kita harus menanamkan kepada anak-anak bahwa belajar adalah perjalanan seumur hidup.
Selain keenam hal tersebut, Ta’limul Muta’allim juga menekankan satu hal yang tak kalah penting: niat yang ikhlas.
Tanpa niat yang benar, ilmu tidak akan membawa manfaat, bahkan bisa menjerumuskan.
Niat mencari ilmu hendaknya semata-mata untuk mencari rida Allah, bukan untuk kepentingan dunia semata seperti pujian, pangkat, atau kekuasaan.
Oleh karena itu, menanamkan syariat sejak dini bukan hanya tentang mengajarkan ritual ibadah semata, tetapi juga membentuk karakter, akhlak, dan cara pandang hidup yang sesuai dengan ajaran Islam.
Kita sebagai orang tua harus menjadi teladan utama bagi anak-anak, bukan hanya dalam kata, tetapi juga dalam perbuatan.
Ingatlah, investasi terbaik bukan pada harta atau warisan duniawi, melainkan pada anak saleh yang mendoakan orang tuanya setelah wafat.
Maka, marilah kita tanamkan nilai-nilai Islam dalam hati mereka sejak dini, agar kelak kita bisa berkumpul kembali bersama dalam naungan rida Allah di akhirat. (*)