Dalam era bisnis modern yang ditandai dengan kompleksitas persaingan global dan meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan, perusahaan dituntut untuk lebih dari sekadar mengejar keuntungan finansial.
Mereka harus mampu menghadirkan dampak positif terhadap keberlanjutan lingkungan hidup. Di tengah tantangan tersebut, muncul sebuah konsep strategis yang menjadi kunci keunggulan kompetitif baru: Green Intellectual Capital (GIC).
Konsep ini dipaparkan Prof. Sriyono, dosen Program Studi Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), yang melalui penelitiannya menghadirkan cara pandang baru mengenai bagaimana modal intelektual perusahaan dapat dikombinasikan dengan kesadaran lingkungan untuk menciptakan bisnis yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga unggul secara kompetitif.
“Green intellectual capital adalah kekuatan tak kasat mata yang mampu menggerakkan performa organisasi dan memperkuat daya saing perusahaan di tengah kompetisi yang semakin ketat,” terang Sriyono seperti dilansir di laman resmi Umsida, pada 6 Maret 2025.
Apa Itu Green Intellectual Capital?
Secara umum, GIC terdiri dari tiga komponen utama:
-
Green Human Capital
Merujuk pada kualitas sumber daya manusia yang tidak hanya cakap secara teknis dan manajerial, tetapi juga memiliki kesadaran tinggi terhadap tanggung jawab ekologis. SDM dalam kategori ini dilatih untuk memahami pentingnya praktik ramah lingkungan dalam kegiatan operasional perusahaan, mulai dari penggunaan energi yang efisien, pengelolaan limbah yang aman, hingga pembentukan budaya kerja yang mendukung prinsip keberlanjutan. -
Green Structural Capital
Mencakup sistem, struktur organisasi, teknologi, dan proses kerja yang mendukung pelestarian lingkungan. Ini bisa berupa sistem produksi yang minim emisi, teknologi hijau, serta kebijakan perusahaan yang mendukung efisiensi energi dan pengurangan dampak lingkungan. -
Green Relational Capital
Berkaitan dengan hubungan eksternal perusahaan, seperti kemitraan dengan konsumen, pemasok, dan pemangku kepentingan lainnya yang dibangun atas dasar komitmen terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan.
Ketiga komponen ini, menurut Sriyono, merupakan landasan penting bagi perusahaan untuk bisa beradaptasi dengan tuntutan zaman, terutama dalam sektor-sektor yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan, seperti industri farmasi.
Peran Strategis GIC dalam Industri Farmasi
Industri farmasi merupakan salah satu sektor yang sangat erat kaitannya dengan isu lingkungan. Proses produksi yang melibatkan bahan kimia berbahaya dan menghasilkan limbah medis memerlukan pengelolaan yang cermat agar tidak mencemari lingkungan. Dalam konteks ini, penerapan green intellectual capital menjadi semakin penting.
“Selama ini, banyak perusahaan masih menilai karyawan dari segi produktivitas dan efisiensi semata. Padahal, sekarang kita harus melihat lebih jauh: apakah SDM kita juga membawa nilai-nilai keberlanjutan?” ungkap Sriyono.
Dia menekankan bahwa pelatihan internal yang menanamkan kesadaran lingkungan, pembentukan budaya perusahaan yang peduli terhadap isu hijau, serta sistem kerja yang mendukung efisiensi energi adalah bentuk konkret dari green human capital.
Namun, ia juga memberi catatan penting bahwa jika human capital tidak diarahkan dalam kerangka keberlanjutan, maka justru bisa menjadi bumerang bagi perusahaan dalam jangka panjang.
“SDM yang terlalu fokus pada efisiensi tanpa mempertimbangkan dampak ekologis bisa saja menghasilkan keputusan yang merugikan perusahaan dan lingkungan di masa depan,” imbuhnya.
Tantangan Mengukur Green Intellectual Capital
Meskipun penting, salah satu tantangan utama dalam menerapkan GIC adalah bagaimana mengukurnya secara objektif dan terstandar.
Dalam sistem akuntansi konvensional, aspek seperti pengetahuan, budaya organisasi, dan relasi eksternal yang mendukung keberlanjutan sangat sulit dinilai secara kuantitatif.
“Hingga hari ini, belum ada standar akuntansi global yang benar-benar bisa mengukur nilai dari green intellectual capital secara menyeluruh,” ujar Sriyono. “Ini menjadi pekerjaan besar yang perlu digarap bersama oleh kalangan akademisi dan praktisi bisnis,” imbuh dia.
Namun begitu, dalam penelitiannya, Sriyono menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis regresi dan uji Sobel untuk melihat kontribusi GIC terhadap performa perusahaan.
Hasilnya sangat mencengangkan: GIC menyumbang hingga 94 persen terhadap peningkatan kinerja perusahaan, dan berdampak signifikan dalam membentuk keunggulan kompetitif yang berorientasi pada keberlanjutan.
GIC untuk Semua Jenis Perusahaan?
Menariknya, Sriyono juga menyoroti bahwa belum ada kepastian apakah dampak GIC sama kuatnya di semua jenis perusahaan. Apakah prinsip-prinsip GIC hanya efektif di perusahaan besar yang memiliki sumber daya melimpah? Atau bisa juga diadopsi oleh perusahaan kecil dan menengah dengan hasil yang setara?
“Ini menjadi pertanyaan menarik untuk riset selanjutnya. Jika perusahaan kecil juga bisa mendapatkan manfaat yang sama dari penerapan GIC, maka ini bisa menjadi terobosan besar dalam transformasi bisnis berkelanjutan,” tambahnya.
Refleksi Masa Depan Bisnis
GIC bukan sekadar konsep abstrak dari dunia akademik atau tren manajemen sesaat. Lebih dari itu, GIC adalah manifestasi nyata dari arah masa depan dunia usaha. Bisnis tidak lagi hanya bicara soal keuntungan finansial, tetapi juga kontribusi terhadap kelestarian bumi dan kesejahteraan sosial.
“Perusahaan masa kini harus cerdas dalam menghitung keuntungan, tetapi juga harus bijak dalam merawat bumi. Di sanalah letak keunggulan masa depan,” tegas Sriyono.
Dengan kata lain, parameter keberhasilan sebuah perusahaan kini telah bergeser. Keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar laba yang dicetak, tetapi juga sejauh mana perusahaan mampu menjaga harmoni dengan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. (*/wh)
Dalam diri pribadi utamanya harus ada peduli lingkungan dari yang unit terkecil. Misal milih kemasan untuk acara2 misal jumat berkah. Bayangin klu jumat berkah pada memakai steryfoam berjuta sampah akan merusak lingkungan. Kesadaran pribadi itu penting. Dalam skala yang besar jelas sangat perpengaruh apalagi kebijakan pemerintah. Harus memperhatikan ini