Idulfitri 1446 H kembali menyapa, membawa kebahagiaan setelah sebulan penuh kita menjalani ibadah puasa Ramadan. Hari kemenangan ini sering diidentikkan dengan baju baru, makanan khas Lebaran, serta silaturahmi dengan keluarga dan sahabat.
Namun, sejatinya Idul Fitri bukan hanya tentang kemeriahan fisik, tetapi juga kemenangan spiritual. Jika kita hanya fokus pada baju baru yang dikenakan tubuh, tetapi lupa memperbarui hati, maka makna sejati Idul Fitri menjadi hilang.
Lebih dari sekadar pakaian baru, Idul Fitri seharusnya menjadi momentum untuk memiliki hati yang baru—hati yang bersih dari penyakit hati dan nafsu ego pribadi yang dapat merusak diri serta hubungan sosial kita.
Makna Baju Baru dalam Idul Fitri
Setiap tahun, masyarakat berbondong-bondong membeli baju baru sebagai simbol perayaan. Ini tidak salah, karena Islam pun menganjurkan untuk memakai pakaian terbaik di hari raya. Namun, pertanyaannya, apakah kita juga mengganti hati kita dengan yang lebih baik sebagaimana kita mengganti pakaian lama dengan yang baru? Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Baju baru yang kita kenakan seharusnya menjadi pengingat bahwa Idul Fitri adalah tentang penyucian diri, bukan sekadar tampilan luar. Sebagaimana pakaian yang bersih menutupi tubuh, hati yang bersih seharusnya menutupi jiwa kita dari kesombongan, iri hati, dan sifat egois.
Zakat Fitrah: Simbol Penyucian Jiwa dari Penyakit Hati
Dalam Islam, salah satu kewajiban sebelum Idul Fitri adalah menunaikan zakat fitrah atau zakat nafs, yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dan menyempurnakan ibadah puasa kita. Zakat fitrah bukan hanya sekadar bantuan kepada fakir miskin, tetapi juga simbol bahwa kita harus menyingkirkan sifat kikir dan egoisme dari dalam diri kita.
Rasulullah SAW bersabda: “Zakat fitrah adalah penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai makanan bagi orang miskin.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dengan menunaikan zakat fitrah, kita diajarkan untuk peduli terhadap sesama dan tidak larut dalam kesenangan pribadi saat hari raya tiba. Idul Fitri seharusnya tidak hanya menjadi ajang menunjukkan pakaian baru, tetapi juga ajang menunjukkan kebersihan hati dan kepedulian sosial yang lebih besar.
Mengendalikan Nafsu Ego Pribadi Setelah Ramadan
Selama Ramadan, kita dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu, baik dalam bentuk amarah, kesombongan, maupun keinginan duniawi yang berlebihan.
Namun, setelah Ramadan berlalu, sering kali kita kembali terjerumus dalam sifat-sifat buruk yang telah kita latih untuk ditinggalkan.
Beberapa penyakit hati yang sering muncul kembali setelah Ramadan antara lain:
1. Kesombongan (Takabur): Merasa diri lebih baik dari orang lain, baik dalam urusan ibadah maupun kehidupan duniawi.
2. Iri dan Dengki (Hasad): Tidak senang melihat kebahagiaan orang lain dan berharap keburukan menimpa mereka.
3. Riya’ dan Ujub: Beribadah atau berbuat baik bukan karena Allah, tetapi untuk mendapat pujian dari orang lain.
Egoisme dan Tidak Mau Memaafkan: Sulit mengalah, enggan meminta maaf, dan tetap menyimpan dendam meskipun Ramadhan telah mengajarkan kita untuk saling memaafkan.
Semua penyakit hati ini adalah bentuk dari nafsu yang tidak terkendali. Jika kita tidak waspada, nafsu ini dapat kembali menguasai diri kita setelah Ramadhan pergi.
Oleh karena itu, Idulfitri harus menjadi titik awal untuk mempertahankan kebersihan hati yang telah kita latih selama sebulan penuh.
Menjaga Spirit Ramadan Sepanjang Tahun
Agar Ramadan tidak sekadar menjadi ritual tahunan tanpa perubahan nyata, kita perlu terus menjaga kebiasaan baik yang telah kita bangun, seperti:
1. Menjaga keikhlasan dalam beramal: Tidak ada lagi tempat untuk riya’ dan pamer. Beramal hanya untuk mengharap ridha Allah.
2. Memperbanyak zikir dan istighfar: Agar hati tetap bersih dan terhindar dari penyakit hati.
3. Menahan amarah dan menjaga lisan: Menghindari perdebatan yang sia-sia dan tidak mudah terpancing emosi.
4. Menjaga hubungan baik dengan sesama: Saling memaafkan, menjalin silaturahmi, dan tidak mendendam.
Jika kita bisa menjaga spirit Ramadhan ini, maka Idul Fitri yang kita rayakan bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan benar-benar menjadi titik awal kemenangan sejati atas nafsu dan ego diri.
Jangan biarkan penyakit hati dan nafsu ego pribadi kembali menguasai diri setelah Ramadhan pergi. Idul Fitri sejatinya bukan hanya tentang baju baru, tetapi juga tentang hati yang baru—yang lebih bersih dan lebih dekat kepada Allah.
Mari kita jadikan Ramadhan sebagai momentum perbaikan diri, agar kita tetap menjadi pribadi yang lebih sabar, rendah hati, dan penuh kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami makna zakat fitrah, kita juga diajak untuk mengikis egoisme dan lebih peduli terhadap sesama.
Taqabbalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir dan batin. (*)