*)Oleh: Ernawati
Guru SD Muhammadiyah Kranggan & Alumni Sekolah Tabligh PWM Jateng angkatan 4
Ada masa di mana aku merasa begitu dekat dengan Allah. Setiap helaan napas terasa dipenuhi dengan makna, setiap ibadah terasa seperti percakapan indah antara hamba dan Rabb-nya. Hatiku ringan, jiwaku lapang.
Aku adalah seseorang yang begitu yakin dengan takdir Allah, menerima dengan tenang apa pun yang datang, entah itu kebahagiaan ataupun ujian. Dulu, aku bukan hanya menjalani ibadah, tapi juga menikmatinya. Kebaikan terasa seperti nafas kedua—alami dan tulus.
Namun kini, aku merasa asing dengan diriku sendiri. Seakan-akan aku telah kehilangan sesuatu yang sangat penting. Diri yang dulu taat kini terasa jauh. Ibadah menjadi rutinitas kosong tanpa ruh, hati mudah lelah, dan aku sering kali merasa seolah-olah hanya aku yang diuji oleh hidup.
Aku menangis, bukan karena rindu akan surga, tapi karena merasa kehilangan arah.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِي وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk.”
(QS. Al-Baqarah: 186)
Ayat ini menamparku dengan lembut. Karena faktanya, bukan Allah yang menjauh, tapi akulah yang memalingkan wajah. Kesibukan dunia, luka-luka kecil yang kupelihara, dan prasangka buruk yang perlahan tumbuh di hati membuatku makin lama makin terpisah dari-Nya. Aku lupa, bahwa damainya hidupku dulu bukan karena keadaan baik-baik saja, tapi karena hatiku dekat dengan Allah.
Apa yang membuatku sejauh ini dari Allah?
Ternyata, banyak yang menjadi sebabnya. Barangkali aku terlalu sibuk mengejar dunia, terlalu fokus pada luka dan kecewa yang terus dipelihara dalam diam. Mungkin aku membiarkan diriku tenggelam dalam prasangka buruk terhadap takdir Allah, lupa bahwa semua yang datang dari-Nya adalah bentuk cinta, bukan murka. Atau bisa jadi aku kehilangan rasa syukur dan memilih untuk terus melihat apa yang kurang, alih-alih menghargai yang masih ada.
Yang lebih menyakitkan adalah saat aku menyadari bahwa diriku sendiri yang perlahan-lahan melepaskan genggaman itu. Aku menjauh, bukan dijauhkan. Aku lalai, bukan dilalaikan. Tapi justru dari titik inilah harapan itu bisa tumbuh kembali. Sebab, mengenali kehilangan adalah langkah pertama untuk menemukannya kembali.
Aku ingin menemukan diriku yang dulu
Mungkin jawabannya sederhana, kembali ke awal. Kembali mengenali Allah, bukan sekadar sebagai Tuhan yang harus disembah, tapi sebagai Pencipta yang mencintai tanpa syarat. Mulai dari hal kecil—berwudhu dengan khusyuk, meluangkan waktu merenung selepas Subuh, membaca satu ayat Al-Qur’an dan benar-benar memahaminya, bukan sekadar mengejanya. Memulai sholat tepat waktu meski kupaksakan, dzikir pagi dan petang mulai kurutinkan kembali dan istighfar setiap malam.
Aku ingin memulainya dengan memperbaiki relasi dengan hati. Belajar ikhlas kembali, belajar menerima takdir seperti dulu. Memperbanyak dzikir meski hanya dalam diam, karena bisa jadi hati yang lalai ini sedang kehausan dan perlu disiram dengan nama-nama Allah yang agung.
Dan yang terpenting, aku perlu memaafkan diriku sendiri. Karena terkadang, yang membuatku makin jauh dari Allah adalah rasa bersalah yang tak kunjung sembuh. Padahal Allah Maha Penerima Taubat.
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Az-Zumar: 53)
Ayat ini adalah pelukan lembut dari Allah untukku, dan untuk siapa pun yang merasa telah jauh. Tidak ada kata terlambat untuk kembali. Tidak ada langkah kecil yang tidak dihargai oleh-Nya. Allah tidak menilai sempurnanya amalan kita, tapi keikhlasan dan kesungguhan hati kita dalam kembali.
Aku tahu, proses ini tak mudah. Tapi aku percaya, Allah tidak pernah benar-benar meninggalkan hamba-Nya. Jika aku merasa jauh, maka mungkin akulah yang perlu melangkah lebih dekat. Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Barangsiapa mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta.” Itu artinya, satu langkah kecil yang aku ambil ke arah Allah, akan dibalas dengan pelukan besar dari-Nya.
Kini, aku ingin memulai lagi. Meski perlahan, meski tertatih, aku ingin kembali menjadi diriku yang dulu—atau bahkan lebih baik. Karena di ujung pencarian ini, yang kutemukan bukan hanya ketenangan, tapi juga cinta sejati: cinta kepada Allah yang tak pernah pergi, bahkan saat aku berpaling. (*)