Keputusan Muhammadiyah Menambah 8 Menit untuk Waktu Subuh: Penyesuaian Berdasarkan Astronomi

Keputusan Muhammadiyah Menambah 8 Menit untuk Waktu Subuh: Penyesuaian Berdasarkan Astronomi

Pada 20 Maret 2021, Majelis Tarjih Muhammadiyah secara resmi memutuskan untuk menambah 8 menit pada waktu azan Subuh. Keputusan ini diambil setelah melalui penelitian panjang yang dilakukan sejak 2007 oleh beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah yang ditunjuk untuk meneliti ketepatan waktu Subuh sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.

Tiga perguruan tinggi yang terlibat dalam penelitian ini adalah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Penelitian ini dilakukan di berbagai lokasi yang mewakili kondisi geografis Indonesia, dari lereng gunung hingga pinggir pantai, dan menunjukkan bahwa azan Subuh selama ini dikumandangkan terlalu cepat.

Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa waktu fajar terbit yang digunakan selama ini terlalu pagi, sehingga saat azan Subuh dikumandangkan, fajar masih jauh di bawah derajat yang seharusnya. Salah satu peserta, Dr. Firdaus, M. HI, perwakilan dari Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Sumatera Barat, mengungkapkan dalam kultumnya bahwa berdasarkan pengamatan astronomis, posisi matahari yang diambil pada minus 20 derajat di bawah ufuk dinilai lebih akurat dibandingkan dengan standar lama yang menggunakan minus 17 derajat.

“Oleh karena itu, perlu ada perpaduan antara dua metode yang ditemukan,” ujarnya.

Keputusan untuk menambah 8 menit pada waktu Subuh mulai diuji coba selama masa pandemi Covid-19 dan akhirnya diterima secara resmi.

“Dari berbagai teori dan temuan ini, akhirnya disepakati untuk menambah 8 menit dari waktu Subuh yang umumnya dilakukan,” tambah Buya Firdaus.

Penyesuaian ini didasarkan pada dalil-dalil syar’i yang menjelaskan tentang waktu Subuh dan kaitannya dengan fajar. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan waktu Subuh apabila telah bernapas” (QS At-Takwir: 18), yang menegaskan bahwa waktu Subuh benar-benar dimulai ketika fajar terlihat jelas.

Selain itu, dalam konteks puasa, perintah untuk menahan diri dari makan dan minum hingga fajar terbit juga menjadi landasan penting dalam perubahan ini.

Namun, perubahan ini menimbulkan pertanyaan mengenai jadwal imsak yang selama ini ditetapkan sekitar 10 menit sebelum waktu Subuh.

“Sebagian kalangan mempertanyakan mengapa imsak diartikan sebagai waktu untuk menahan diri, padahal dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa puasa dimulai ketika fajar terbit,” tanyanya kepada hadirin.

Keputusan ini juga mendapat dukungan dari beberapa ulama, termasuk Ustadz Adi Hidayat (UAH), yang menjelaskan bahwa imsak lebih berfungsi sebagai anjuran untuk bersiap-siap sebelum masuknya waktu puasa.

Contohnya, di Sumatera Barat, beberapa masjid besar telah mulai menerapkan perubahan ini. Masjid Raya Al Minangkabawi, misalnya, sejak 2021 telah mengumandangkan azan Subuh dengan penambahan 8 menit sesuai dengan keputusan Muhammadiyah. RRI Padang juga telah menyesuaikan waktu azan Subuhnya dengan standar baru.

Namun, di internal Muhammadiyah, masih ada masjid yang menggunakan jadwal lama tanpa penambahan waktu, meskipun pada praktiknya salat Subuh baru dilaksanakan setelah tambahan 8 menit. Hal ini menunjukkan adanya masa transisi dalam penerapan keputusan ini, di mana sebagian masyarakat masih menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.

“Keputusan ini diharapkan dapat memberikan kejelasan bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah salat Subuh dengan lebih akurat. Dengan adanya penelitian ilmiah dan kajian mendalam, Muhammadiyah berusaha memastikan bahwa waktu ibadah yang dijalankan umat Muslim sesuai dengan ketentuan syariat dan kondisi astronomi yang sebenarnya,” pungkasnya. (roissudin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *