Kesucian Jiwa

Kesucian Jiwa
*) Oleh : Fathurrahman Kamal, Lc., M.Si
Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

Dalam pandangan pendiri Muhammadiyah, orang yang berbahagia dan beruntung melintasi zaman ialah orang-orang yang senantiasa melakukan penyucian diri dan jiwanya. Inilah laku tazkyatun nufus yang terinspirasi melalui Kalam Ilahi:

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la: 14-17)

Tazkyatun nufus dalam perspektif Muhammadiyah bukanlah jebakan romantisme spiritual yang sering kali bersifat fatalis (jabariyah) dan menafikan relasi dengan alam serta dunia nyata.

Tazkyatun nufus yang kita yakini dan lakoni ialah proses pensucian jiwa yang aktif dan produktif sekaligus berkontribusi positif dalam menata ulang dan membangun kembali rumah peradaban kita.

Itulah sebabnya beliau menggugah murid-muridnya, “Apakah kesucian diri sebatas klaim semata? Bukankah orang-orang Hindu, Buddha, dan Nasrani juga mengakui hal serupa? Apakah kamu seperti mereka?” Baginya, tazkyatun nufus mesti diaktualisasikan dalam kesalehan sosial, tidak boleh berhenti pada level individu semata.

Tazkyatun nufus ialah titik pertautan tiga amalan sekaligus: dzikrullah, shalat, dan ingat kematian. Penyucian jiwa meniscayakan kokohnya relasi kita dengan Allah. Asma’ wa sifat-Nya aktual dalam laku kehidupan kita. Totalitas kehidupan kita berada dalam bingkai orientasi kepada Allah semata.

Inilah esensi penegakan salat yang melahirkan pribadi dan generasi peradaban yang visioner; menembus batas kehidupan alam materi: ingat kematian!

Kesucian diri dan jiwa teridentifikasi melalui kata kalbu kita yang lillahi ta’ala, tidak munafik dan ambivalen. Akal dan karunia intelektual yang tersucikan tak akan destruktif dan mengkhianati peradaban yang berketuhanan (theistic worldview).

Pada tataran praksis, kita tidak terjebak pada kubangan sekularisasi yang menafikan relasi alam semesta dengan Penciptanya, meniadakan dimensi spiritual kehidupan, serta berpandangan serba dikotomik dan anti-pandangan tauhidik.

Inilah makna tazkyatun nufus: mensucikan dan memurnikan totalitas organ kemanusiaan kita sebagai syarat dan password melintasi zaman.

Semoga kita istikamah ber-Muhammadiyah! (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *