*) Oleh: Nida’ul Fulaihah,
Mahasiswi jurusan Lughah LIPIA Jakarta
Kalau Al-Qur’an menciptakan dunia sebagai sarana untuk mencapai kesuksesan, namun manusia justru menjadika dunia sebagai tujuan, sehingga berimplikasi terlalaikan akheratnya.
Hal ini bukan hanya berimplikasi buruk bagi dirinya di dunia tetapi akan menghancurkan masa depannya di dunia-akherat. Bahkan penyesalan akan terus dirasakan ketika kehinaan sudah dirasakan di ujung kehidupannya.
Fir’aun merupakan contoh manusia yang orientasi dunianya menguasai dirinya. Dia pun mengkonsentrasikan kekuasaannya untuk menumpuk kekayaan hingga lupa diri dan lalai adanya hari pertanggungjawaban di akhirat.
Dia mati secara terhina karena ditenggelamkan Allah. Demikian pula Qarun yang berlimpah harta hingga lupa akherat, dan Allah menghinakannya dengan menenggelamkan seluruh hartanya
Tujuan Hidup
Allah mencptakan manusia dengan tujuan untuk menghambakan diri kepada-Nya. Dengan menghambakan diri kepada Allah, maka hidupnya akan terpandu dengan nilai-nilai kemuliaan.
Apa yang dilakukan oleh para nabi dan rasul merupakan contoh terbaik karena hidup mereka hanya mengabdi kepada Allah. Hidup mereka dicurahkan untuk kehidupan diri dan masyarakatnya.
Utusan Allah ini memfokuskan hidupnya untuk akherat, sehingga hidupnya senantiasa dalam pantauan dan kontrol Tuhannya.
Mereka sadar betul bahwa hidupnya diperuntukkan pencapaian keselamata di akherat. Orientasi akherat inilah yang membuat mereka beribadah sepanjang hidupnya. seluruh kehidupannya untuk perbaikan diri dan umatnya.
Mereka sadar bahwa hidupnya hanya untuk menghambakan diri kepada Allah. Hal ini sejalan dengan apa yang digariskan Allah sebagaimana firman-Nya :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُون
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56)
Namun manusia memiliki kecerdasan yang salah arah, sehingga tidak menjadikan dunia sebagai sarana tetapi menjadi tujuan.
Dengan kata lain, kehidupan duniawi yang seharusnya menjadi wasilah (perantara) untuk merealisasikan tujuan beribadah kepada Allah namun justru melalaikannya.
Seorang penuntut ilmu misalnya, yang bergadang semalaman sehingga salat subuhnya terlalaikan atau bahkan terlewatkan.
Seorang pengantin wanita yang menjamak salat di hari pernikahannya dikarenakan make-up yang terlalu tebal sehingga menahannya dari wudu.
Bahkan tidak sedikit banyak manusia yang mengumpulkan harta sehingga sangat kaya dan melimpah kekayaan, namun lalai terhadap masjid.
Berharta bukannya dermawan, tetapi justru bertambah kikir. Tiga realitas di atas menunjukkan hilangnya orientasi akhirat karena terbujuk oleh bujukan dunia.
Orientasi Akhirat
Al-Qur’an memandu manusia untuk menata orientasi hidup manusia pada pengabdian kepada Allah dengan karya dan kerja nyata.
Bahkan semua aktivitasnya diorentasikan untuk berbuat maksimal untuk kemuliaan. Bahkan rela mati untuk mempertahankan kemuliaan.
Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup manusia hingga kematiannya untuk beribadah kepada Allah. Hal ini dinarasikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِی وَنُسُكِی وَمَحۡیَایَ وَمَمَاتِی لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِین
Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan semesta alam.” (Al An’am : 162)
Semua bentuk perilaku manusia bisa dikategorikan sebagai ibadah. Karena orientasinya mengabdi kepada Allah.
Oleh karena salatnya hanya karena Allah, bukan karena popularitas atau meraih karier terbaik di dunia. Termasuk dalam beribadah atau berkurban, semuanya ada nilai keikhlasan tak tergoda oleh kepentingan sesaat.
Bahkan dalam menjalani kehidupan hingga menuju kematian, diperuntukkan dan diniatkan untuk mendapatkaan kemuliaan. Ketika menuntut ilmu diprioritaskan untuk menjadi orang teladan dalam kebaikan.
Akhlaknya mulia, peduli pada orang lain sehingga menjadi cotoh bagi orang lain. Demikian pula ketika menjalani hidup berumah tangga, senantiasa menjadikan hidupnya seminim mungkin melanggar tatanan sosial dan masyarakat.
Bahkan ketika menjadi orang hidup kaya dan berkecukupan, justru semakin drmawan dan peduli pada orang tak berpunya.
Hidup yang demikian ini merupakan cermin dari generasi yang berorientasi akherat dan menjadikan dunia sebagai wasilah menebar kebaikan.
Mereka bukan hanya sekadar generasi yang hidup tetapi anak bangsa yang menghidupi dan menghidupkan masyarakat sekitarnya.
Ketika hidup spirit ini, maka mereka tidak hanya dikenal baik ketika hidup, tetapi menjadi bibir ketika sudah meninggal.
Apa yang dialami oleh para utusan Allah telah menjadi buah bibir manusia sepeninggalnya. Meskipun mereka sudah meninggalkan alam fana ini, namun manusia di seluruh dunia telah menjadikannya sebagai teladan.
Para Ulul ‘Azmi (Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad), sampai kapan pun akan dijadikan buah bibir bagi umat Islam di seluruh dunia.
Sebaliknya, manusia yang menjadikan dunia sebagai tujuan, hingga melalaikan akherat, maka akhir hidupnya terhina dan ketika sudah meninggal menjadi buah bibir dan contoh keburukan.
Namrud, Fir’aun, dan Qarun merupakan contoh manusia buruk yang mengorientasikan hidup untuk dunia sehingga hidupnya justru menentang ajaran kebaikan yang dibawa para utusan Allah.
Mereka menjadi bibir keburukan di seluruh dunia sekaligus menjadi contoh yang harus dihindari. (*)
Jakarta, 26 Januari 2025
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News