Ketika Obsesi Surga Meretakkan Rumah Tangga

Ketika Obsesi Surga Meretakkan Rumah Tangga
*) Oleh : Andi Hariyadi
Ketua Majelis Pustaka Informatika dan Digitalisasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya

Upaya meraih surga mendorong kita untuk senantiasa istikamah dalam beribadah, menebar amal saleh, memberi keteladanan dalam perjuangan, menebar kasih sayang, memperkuat keharmonisan keluarga, dan melakukan berbagai amal kebaikan lainnya.

Semua itu dilakukan dengan harapan, melalui rahmat-Nya, kita memperoleh balasan berupa surga-Nya.

Allah SWT berfirman bahwa surga itu diwariskan kepada orang-orang yang bertakwa (QS. Maryam: 62), orang-orang beriman yang berserah diri kepada-Nya dan menghadirkan karya terbaiknya (QS. Az-Zukhruf: 69–72), serta orang-orang yang memelihara amanah dan janjinya, serta menjaga salat (QS. Al-Mu’minun: 7–10). Masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang siapa yang berhak mewarisi surga.

Dalam salah satu hadis Rasulullah saw bersabda:

“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?”
Beliau menjawab, “Siapa yang taat kepadaku akan masuk surga, dan siapa yang durhaka kepadaku, maka ia sungguh enggan (masuk surga).” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Petunjuk untuk mewarisi surga sangat jelas: ketakwaan dan keyakinan yang diimplementasikan dalam bentuk kebaikan menyeluruh, baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat sebagai satu kesatuan umat terbaik (QS. Ali Imran: 110).

Hal ini mencakup upaya membangun kehidupan yang mencerahkan, membahagiakan, menyejahterakan, dan penuh kemuliaan serta rasa tanggung jawab atas apa yang dilakukan.

Namun demikian, muncul fenomena di tengah masyarakat: obsesi meraih surga yang justru memunculkan perpecahan dalam keluarga.

Ritual ibadah tampak baik, diskusi keagamaan digelar, dan interaksi berlangsung melalui kajian yang cenderung inklusif. Mereka bergerak tanpa identitas formal keorganisasian, hanya dibalut simbol religiusitas.

Rekrutmen dilakukan secara intensif, terutama menyasar lingkungan terdekat dan komunitas emak-emak, yang dimanfaatkan sebagai sarana penguatan keyakinan melalui doktrin surgawi.

Doktrin surgawi ini digunakan sebagai media “pemasaran teologis”, hingga para target seakan terhipnotis oleh keindahan surga. Daya nalar dan berpikir kritis mulai terkikis.

Cara pandang mereka menjadi hitam-putih: sesat atau tidak, mulia atau hina, jamaah atau bukan, saudara atau lawan. Kemampuan untuk berpikir selektif mulai hilang, digantikan oleh emosi dan gambaran tentang kenikmatan dan keabadian di surga.

Surga kemudian dipersepsikan sebagai milik eksklusif komunitas mereka, dan kelompok di luar itu dianggap sesat. Strategi rekrutmen tak lagi sekadar menawarkan keindahan surga, tetapi juga meyakinkan bahwa hanya kelompok merekalah yang benar, yang akan membawa keselamatan dunia dan akhirat.

Sosialisasi doktrin ini kemudian diarahkan ke dalam keluarga inti, memaksa pasangan dan anak-anak mengikuti keyakinan yang diyakini sebagai jalan menuju surga.

Interaksi di dalam keluarga pun berubah. Dialog yang tadinya hangat kini dipenuhi dikotomi: benar-salah, mulia-hina, surga-neraka. Jika ada anggota keluarga yang menolak mengikuti pemahaman ini, maka yang terjadi adalah perpecahan.

Bahkan, tak sedikit yang memilih bercerai dari pasangan hidupnya dan meninggalkan anak-anak, hanya demi memenuhi ambisi pribadi terhadap surga dalam persepsi sempitnya.

Fenomena ini makin memprihatinkan saat pekerjaan halal yang selama ini menopang keluarga diharamkan, pendidikan dianggap kebodohan, dan keberadaan negara disebut thaghut.

Tak hanya menjelekkan, mereka bahkan bisa melangkah lebih jauh melakukan pembangkangan atau makar dengan dalih mengejar surga.

Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) seperti ini membidik emosi dan menyebarkan doktrin yang diklaim sebagai satu-satunya kebenaran.

Mereka terus bergerak, merekrut, dan mengumpulkan orang-orang untuk bergabung, bahkan dengan mengorbankan hubungan keluarga.

OTB bisa jadi ikut berjamaah bersama kita di masjid atau musala. Namun, di balik itu, mereka menjalankan pembinaan intensif.

Oleh karena itu, sangat penting memperkuat jamaah, baik dari aspek ideologis maupun sosial, untuk membangun umat terbaik yang berpikir konstruktif dan menjauhi hal-hal destruktif.

Dakwah Muhammadiyah senantiasa mengajak kepada kebenaran, bukan mengejek atau menebar permusuhan. Dakwah Muhammadiyah merangkul, bukan memukul atau menciderai persaudaraan.

Ada begitu banyak ladang dakwah di Muhammadiyah sebagai jalan menuju surga, tanpa harus mengorbankan nilai kemanusiaan, keluarga, dan kehidupan berbangsa. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *