Khotbah Jumat: Menumbuhkan Masyarakat Muslim dengan Karakteristiknya

Khotbah Jumat: Menumbuhkan Masyarakat Muslim dengan Karakteristiknya
*) Oleh : Noor Hudawan, S.Pd., M.Pd.I
Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Timur

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ، اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةُ الْمُجَاهِدِيْنَ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الرَّسُوْلِ الْآمِيْنِ، وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ مِنَ الْأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرِيْنَ وَمَنْ اتَّبَعَهُمْ مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ، اِتَّقُوا اللهَ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. وَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ

Para Jamaah yang dirahmati Allah.

Islam yang didakwahkan oleh Muhammad saw, merupakan episode terakhir dari mata rantai dakwah yang panjang, yang terurai sepanjang sejarah kemanusiaan yang memiliki satu tujuan yang sama, yaitu memperkenalkan kepada manusia siapa Tuhan mereka yang sesungguhnya, menghambakan mereka kepada-Nya semata, sekaligus mengikis habis tuhan-tuhan palsu yang memperbudak mereka.

Secara umum, umat manusia tidak mengingkari prinsip ketuhanan dan keberadaan Allah. Mereka hanya tidak mampu mencapai hakikat siapa Tuhan mereka sesungguhnya. Atau lebih jelasnya, kesalahan mereka ini hanya sebatas pada tindakan-tindakan yang menyekutukan Allah dengan tuhan-tuhan lainnya, baik itu dalam bentuk keyakinan-ritual maupun dalam bentuk ketundukan.

Sedangkan, perbuatan tersebut, baik yang pertama maupun yang kedua, dikategorikan sebagai perbuatan syirik yang dapat mengeluarkan manusia dari agama Allah, bahkan ajaran yang telah mereka kenal dari nabi dan rasul mereka, lalu seiring dengan bergulirnya waktu, mereka kembali pada kejahiliahan dan menyekutukan Allah, baik itu dalam bentuk keyakinan-ritual, kepatuhan, maupun kedua-duanya.

Jadi, pada dasarnya, seruan kepada Allah sepanjang sejarah manusia, secara keseluruhan, bertujuan pada “penyerahan” diri pada Tuhannya (al-Islam). Demi mengentasakan mereka dari penghambaan hamba kepada penghambaan Allah semata, dengan cara menjauhkan mereka dari rengkuhan kekuasaan hamba yang mempengaruhi keputusan, syariat, nilai, dan kebiasaan mereka. Lalu mengembalikannya kepada kekuasaan, kebijakan, dan syariat Allah semata.

Jamaah yang dirindukan surga Allah

Dalam kerangka ini jualah, Islam datang di tangan Nabi Muhammad saw untuk menundukkan manusia di bawah kekuasaan tertinggi Allah SWT. Sebagaimana halnya seluruh semesta yang melingkupi hidup manusia, tunduk dengan patuhnya pada perintah-perintah Allah.

Oleh karena itu, penguasa yang pantas mengatur kehidupan manusia, sebenarnya, adalah penguasa yang telah mengatur keberadaan manusia itu sendiri di muka bumi. Mereka tidak sepatutnya tunduk pada manhaj, kekuasaan, dan kepengurusan, selain manhaj, kekuasaan, dan kepengurusan yang mengatur semesta ini, bahkan yang mengatur keberadaan mereka sendiri di luar kehendak mereka.

Dalam kehidupan di dunia ini, manusia dibatasi oleh hukum-hukum alamiah yang dibuat oleh Allah. Mulai dari penciptaan awal hingga pertumbuhannya, di saat sehat, sakit, hidup, ataupun kematian mereka, semuanya tidak lepas dari ketentuan-ketentuan hukum alam (sunnatullah) yang ada.

Mereka juga, mau tidak mau, harus tunduk pada hukum-hukum ini dalam kehidupan bermasyarakat mereka; berikut pula dalam segala risiko yang mereka tanggung, sebagai konsekuensi dari kebebasan berkehendak mereka. Mereka tidak memiliki kekuasaan apa pun untuk mengubah hukum Allah (sunnatullah) yang mengatur semesta ini.

Karena itu, mereka harus kembali pada Islam secara sadar di dalam kehidupan mereka. Menjadikan syariat Allah sebagai rujukan kebijakan tertinggi dalam setiap persoalan hidup mereka. Inilah yang didakwahkan oleh Muhammad saw. dengan bentuk gerakan sosial yang tergambar secara jelas di dalam mengubah sebuah masyarakat, seirama dengan pandangan hidup, nilai, pemahaman, dan perasaan yang diyakininya, serta adat istiadat yang dilestarikannya.

Gerakan dakwah Rasulullah bukan hanya pada pendekatan-pendekatan yang bersifat teoritis. Karena “teori” tidak cukup mampu menghadapi kejahiliahan yang ada secara riil dalam bentuk gerakan sosial. Terlebih lagi untuk mengalahkannya, khususnya jika dikaitkan dengan upaya dekonstruksi satu eksistensi yang berdiri tegak secara riil, kemudian menggantikannya dengan eksistensi lain yang berbeda secara mendasar dalam watak, manhaj, prinsip umum, dan cabang-cabangnya.

Bahkan dakwah ini harus berbentuk sebuah gerakan sosial yang lebih kuat–dari sudut pandang teoritis dan sistem organisasinya, juga dalam hubungan dan keterpautan di antara komponennya–di banding dengan masyarakat jahiliah yang ada pada saat sebelum Islam hadir.

Kaidah teoretis yang menjadi landasan Islam–sepanjang sejarah manusia–adalah kaidah “persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah”. Atau dengan pengertian lain yang lebih luas, mengesakan Allah SWT dari sisi ketuhanan, kepengurusan, kepemimpinan, kekuasaan, serta keputusan, dalam bentuk keyakinan di dalam hati, ritual dengan segala simbolnya, dan syariat di dalam segala kenyataan hidup, hingga dapat dengan mudah menjadi tolok ukur pemilahan antara muslim dan non-muslim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *