***
Selepas lulus SMA, Gatot sempat bekerja di Hero Swalayan, Bilyar Aurora, Es Krim Campina, dan PLN. Pengalamannya bekerja di berbagai tempat membuat Gatot memahami manajemen usaha, pelayanan pelanggan, dan cara mengelola keuangan. Meskipun sibuk dengan pekerjaannya, saban hari ia tetap membantu ibunya di warung.
Suatu hari, di penghujung 1999, Dewi memanggil Gatot sekira jam 23.00. Dengan suara lirih, ia berpesan, “Nak, lek ibu wes gak onok, koen metuo yo teko PLN. Lanjutno warunge. (Nak, kalau ibu sudah meninggal, kamu gak usah kerja di PLN. Lanjutkan usaha warung ibunya).”
Gatot yang saat itu bekerja di PLN sempat bimbang. Namun, amanat ibunya lebih kuat dari segalanya. Ketika Dewi meninggal pada November 2002, Gatot memutuskan untuk total mengelola warung. Ia memulai dari bawah, hanya menanak 7 kg nasi per hari, jauh dari masa kejayaan ibunya yang bisa mencapai 14 kg.
Tahun 2010, ia merenovasi warung. Perlahan, pelanggan lama mulai berdatangan kembali. Kesabaran dan ketekunannya berbuah manis.
Pada 2011, ia mulai mempekerjakan tiga karyawan dan mulai berpikir tentang aset, menabung untuk membeli tanah, rumah, dan kendaraan.
Saat pandemi Covid-19 melanda, usaha Gatot mengalami guncangan hebat. Dari menanak 40 kg nasi sehari, ia hanya bisa memasak 5 kg.
Ia pun mengumpulkan karyawannya, menawarkan dua pilihan: pulang dan warung ditutup, atau tetap berjualan dengan gaji hanya 30 persen dari biasanya. Tak disangka, semua memilih bertahan.
Gatot dan istrinya, Suzana, tabah menghadapi ujian. Tabungan mereka perlahan terkuras. Angsuran rumah dan mobil harus dijadwal ulang.
Meski keadaan semakin sulit, Gatot dan Suzana tidak menyerah. Mereka berusaha mencari cara agar warung tetap berjalan.
Gatot mulai mengurangi beberapa biaya operasional tanpa mengorbankan kualitas makanan. Suzana, di sisi lain, ikut membantu dengan mencari pemasok bahan baku yang lebih murah namun tetap berkualitas.
Meski masih harus berhemat, semangat Gatot dan Suzana tidak luntur. Mereka yakin bahwa kerja keras dan ketekunan akan membawa mereka melewati masa sulit ini.
Mereka sadar bahwa ujian ini bukanlah akhir, melainkan bagian dari perjalanan panjang untuk mempertahankan warisan keluarga.
Dengan doa dan kerja keras, mereka yakin bisa membawa warung ini ke masa kejayaan seperti dulu.
Bukan hanya itu saja, dalam menjalankan aktivitas usaha, Gatot selalu memegang nasihat ajaran ibunya: jangan pernah membiarkan makanan terbuang sia-sia. Makanan sisa selalu dibagikan ke tetangga. Namun, harus dipastikan tetap layak konsumsi.
Kebiasaan ini tidak hanya menghindarkan mereka dari pemborosan, tetapi juga membawa berkah bagi warung dan keluarga mereka. Tetangga sekitar pun semakin menghormati karena kebaikan Gatot dan istrinya.
Banyak dari mereka yang kemudian menjadi pelanggan setia, bahkan dengan sukarela membantu mempromosikan warung tersebut kepada kerabat dan teman-teman mereka.
Seiring berjalannya waktu, sikap dermawan dan prinsip hidup yang diajarkan ibunya semakin melekat dalam usahanya.
Warung Dewi tidak hanya dikenal karena rasa makanannya yang lezat, tetapi juga karena nilai-nilai kebaikan yang selalu menyertainya.