Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) M. Febriyanto Firman Wijaya menilai, Kurikulum Cinta yang digagas oleh Kementerian Agama RI merupakan terobosan baru dalam sejarah pendidikan agama di Indonesia.
Menurutnya, konsep ini bertujuan menanamkan nilai kasih sayang, toleransi, dan harmoni sejak dini agar generasi muda dapat memahami agama dengan perspektif yang lebih damai dan inklusif.
“Inisiatif ini selaras dengan ajaran Islam yang mengedepankan akhlak mulia serta kehidupan bermasyarakat yang penuh kedamaian. Namun, kebijakan ini perlu diterapkan dengan kehati-hatian,” katanya, pada Senin (10/2/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Kurikulum Cinta berpotensi menjadi sarana efektif dalam menanamkan nilai-nilai Islam tentang kebaikan, kasih sayang, dan persaudaraan.
“Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 90 tentang perintah untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, serta menjauhi keburukan dan permusuhan. Hal ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan cinta dan kasih sayang, bukan kebencian dan pertentangan,” jelas Firman.
Kurikulum ini juga dinilai dapat berkontribusi dalam meredam radikalisme dan ekstremisme yang masih menjadi tantangan dalam dunia pendidikan.
“Pendekatan agama yang hanya menekankan aspek normatif dan hukum tanpa memahami nilai kasih sayang berisiko melahirkan individu dengan pemahaman yang kaku dan sempit,” ppaar dia.
Oleh karena itu, imbuh Firman, pendidikan berbasis cinta diharapkan dapat mengajarkan peserta didik untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sosial dengan sikap penuh kasih dan menghormati perbedaan.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa meskipun Kurikulum Cinta memiliki banyak manfaat, kebijakan ini harus dikaji secara kritis agar tetap sesuai dengan esensi pendidikan agama.
“Salah satu tantangan utamanya adalah memastikan konsep cinta tidak disalahartikan sehingga mengabaikan prinsip tauhid dan syariat Islam,” tegas Firman.
Jika tidak dirumuskan dengan jelas, kata dia, dikhawatirkan akan muncul bias dalam penafsiran atau bahkan penyimpangan dari ajaran Islam.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa kurikulum ini tidak digunakan sebagai sarana untuk menyamakan semua keyakinan dalam aspek akidah.
“Islam mengajarkan toleransi dalam kehidupan sosial, tetapi tetap memiliki batasan dalam hal keyakinan dan prinsip keimanan. Jika aspek cinta terlalu ditekankan tanpa pemahaman agama yang kokoh, ada risiko peserta didik kehilangan pemahaman yang benar tentang batasan Islam,” urai Firman.
Dari segi implementasi, uajr dia, diperlukan kejelasan mengenai bagaimana kurikulum ini akan diterapkan—apakah akan menjadi bagian dari mata pelajaran agama yang sudah ada atau menjadi mata pelajaran tersendiri.
Selain itu, Firman juga menyoroti mekanisme pengajaran dan evaluasi juga harus dirancang secara matang agar tidak menimbulkan kebingungan bagi peserta didik maupun tenaga pendidik.
Sebagai kesimpulan, dukungan terhadap Kurikulum Cinta dapat diberikan dengan syarat bahwa kebijakan ini memiliki landasan yang kuat, berbasis pada dalil yang jelas, serta menjaga keseimbangan antara ajaran kasih sayang dan pemahaman agama yang mendalam.
“Kurikulum ini harus mampu menanamkan nilai cinta dalam kehidupan sosial sekaligus memperkuat akidah, ibadah, dan pemahaman keislaman peserta didik,” katanya.
“Dengan pendekatan yang seimbang dan tepat, Kurikulum Cinta dapat menjadi langkah maju dalam pendidikan agama di Indonesia, membentuk individu yang tidak hanya berakhlak mulia, tetapi juga memiliki pemahaman agama yang kokoh,” pungkas Firman. (uswah sahal)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News