Gempa bumi dahsyat berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang wilayah tengah Myanmar pada Jumat, 28 Maret 2025. Episentrum gempa berada di sekitar kawasan Mandalay dan sekitarnya. Getaran kuat tidak hanya menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur, namun juga merenggut ribuan nyawa. Bahkan, getaran tersebut dirasakan hingga ke negara-negara tetangga seperti Thailand dan Tiongkok bagian selatan.
Menurut laporan resmi dari otoritas setempat, termasuk pernyataan junta militer Myanmar, lebih dari 3.000 orang dilaporkan meninggal dunia, sementara ribuan lainnya mengalami luka-luka. Hingga hari ini, 700 muslim yang meninggal dunia. Selain korban jiwa dan luka-luka, ribuan bangunan termasuk rumah ibadah, sekolah, dan fasilitas umum hancur, meninggalkan dampak sosial dan psikologis yang mendalam bagi masyarakat terdampak.
Salah satu wilayah yang paling terdampak adalah Region Sagaing, kawasan mayoritas Muslim yang berada di dekat pusat gempa. Berdasarkan laporan dari BBC News (3 April 2025), sedikitnya 171 Muslim yang tinggal di Sagaing menjadi korban jiwa. Kawasan tersebut merupakan komunitas Muslim yang erat dan aktif, dan beberapa di antara korban merupakan tokoh masyarakat yang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan komunitas tersebut.
Dalam laporan yang sama, disebutkan bahwa saat azan Jumat berkumandang di Sagaing, ratusan umat Islam bergegas menuju lima masjid untuk melaksanakan salat Jumat terakhir di bulan Ramadan. Hari itu menjadi hari yang sangat dinanti, karena hanya tinggal beberapa hari menuju Idulfitri. Namun pada pukul 12.51 waktu setempat, gempa dahsyat melanda, meruntuhkan tiga masjid, termasuk Masjid Myoma—masjid terbesar di wilayah itu. Hampir seluruh jemaah yang sedang khusyuk menjalankan ibadah di dalamnya wafat. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Tragedi kemanusiaan ini memantik kepedulian dari berbagai pihak, termasuk organisasi kemanusiaan dan keagamaan di Indonesia. Muhammadiyah, melalui Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu), merespons cepat kejadian tersebut dengan menyiapkan bantuan kemanusiaan dan melakukan koordinasi lintas lembaga.
Menurut Muarawati Nur Malinda, Wakil Ketua Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan LAZISMU PP Muhammadiyah, sejak hari pertama kejadian, koordinasi telah dilakukan melalui Muhammadiyah Aid, lembaga di bawah Muhammadiyah yang fokus pada respon kemanusiaan internasional. Koordinasi melibatkan sejumlah majelis dan lembaga di lingkungan Muhammadiyah, termasuk Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).
“Gempa yang terjadi di Myanmar tidak hanya menghadirkan duka mendalam bagi masyarakat setempat, tetapi juga menjadi seruan kemanusiaan global. Muhammadiyah menangkap semangat solidaritas yang tinggi dari umat Islam di Indonesia, meskipun masih dalam suasana merayakan Idulfitri,” ujar Muarawati yang akrab disapa Bu Ara.
Bu Ara juga menjelaskan bahwa Lazismu telah menjalin komunikasi dengan pemerintah Indonesia, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Basarnas, untuk mendukung misi kemanusiaan lintas negara. Emergency Medical Team (EMT) Muhammadiyah yang memiliki sertifikasi internasional juga telah disiapkan untuk mendukung respons medis di lokasi terdampak, sesuai prosedur dan mekanisme kerja sama dengan pemerintah.
“Kami juga sedang melakukan penjajakan mitra lokal di Myanmar, termasuk NGO dan organisasi masyarakat sipil yang kredibel, untuk memastikan bantuan dapat tersalurkan dengan aman dan tepat sasaran,” tambahnya.
Tantangan Distribusi Bantuan dan Strategi Respons
Tidak adanya perwakilan resmi Muhammadiyah di Myanmar, seperti Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM), membuat pengiriman bantuan harus melalui prosedur ketat dan koordinasi intensif. Situasi politik yang tidak stabil di Myanmar, ditambah dengan konflik internal yang belum usai, menjadikan proses bantuan lintas negara tidak sesederhana bantuan domestik.
“Mengirim bantuan ke luar negeri, terutama ke negara yang sedang mengalami konflik internal, memerlukan perhitungan cermat. Karena itu, Muhammadiyah mempersiapkan dua opsi: apakah akan dilakukan penggalangan dana secara besar-besaran atau cukup dengan menggunakan dana cadangan kemanusiaan yang sudah tersedia,” ungkap Bu Ara melalui komunikasi pribadi via WhatsApp.
Untuk sementara ini, Lazismu telah menyiapkan dana ta’awun (solidaritas) sebagai bentuk respon cepat terhadap kondisi darurat. Dana ini memungkinkan Muhammadiyah untuk segera mengambil langkah awal tanpa menunggu proses penggalangan dana yang memerlukan waktu lebih lama.
Aksi cepat Muhammadiyah dalam bencana ini bukanlah yang pertama. Selama ini, Muhammadiyah melalui Lazismu dan MDMC telah aktif dalam aksi kemanusiaan internasional di berbagai negara, seperti Filipina, Nepal, Turki, Maroko, Suriah, dan kawasan Timur Tengah lainnya. Respons kemanusiaan terhadap krisis Rohingya di Myanmar, konflik di Sudan, Yaman, dan Mesir juga menjadi catatan penting kontribusi Muhammadiyah di kancah global.
Kehadiran Muhammadiyah dalam isu-isu kemanusiaan internasional menjadi bukti bahwa organisasi ini tidak hanya bergerak di bidang dakwah dan pendidikan, tetapi juga memiliki sensitivitas tinggi terhadap penderitaan umat manusia di mana pun mereka berada. Gerakan ini sekaligus memperkuat peran Muhammadiyah sebagai kekuatan sipil Islam yang moderat, peduli, dan transnasional.
Tragedi gempa bumi di Myanmar merupakan panggilan nurani bagi seluruh umat manusia. Kepedulian lintas batas, lintas agama, dan lintas bangsa menjadi sangat penting dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Muhammadiyah, dengan semangat rahmatan lil ‘alamin, menegaskan komitmennya untuk terus hadir, membantu, dan meringankan beban saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.
Semoga langkah-langkah cepat ini menjadi awal dari misi kemanusiaan yang lebih luas, dan mampu menggugah solidaritas semua pihak untuk bersama-sama hadir dalam penderitaan yang tengah dirasakan masyarakat Myanmar.(aditio yudono)