Lebaran dalam Bayang-Bayang

Lebaran dalam Bayang-Bayang
*) Oleh : Agus Wahyudi

Di antara gema takbir dan aroma ketupat dari dapur, Marwan duduk sendiri di ruang tamu yang lengang. Rumah warisan orang tuanya berdiri megah. Tapi hatinya berasa kosong.

Hari ini Idulfitri. Tapi yang dia tunggu hanya bayang-bayang. Adik-adiknya yang dulu riuh menyambut pagi, kini hanya meninggalkan pesan dan alasan.

Marwan adalah anak sulung dari tujuh bersaudara. Sejak kedua orang tuanya wafat, rumah ini selalu jadi tempat berkumpul saat Lebaran. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, ia berharap mereka pulang.

Namun jam terus berjalan. Matahari makin tinggi. Bel rumah tak juga berbunyi.

Satu per satu pesan masuk ke ponselnya.

“Maaf, Mas. Tahun ini nggak bisa mudik. Lagi banyak kerjaan.”
“Mas, maaf banget. Tahun ini gantian ke mertua dulu.”
“Mas, anak-anak sakit. Nanti video call, ya…”

Marwan membalas singkat. “Nggak apa-apa. Yang penting sehat.”

Ia tersenyum. Tapi senyum itu tak sampai ke mata. Di dalam hatinya, ada ruang kosong. Seperti kursi-kursi di ruang tamu yang tertata rapi, tapi tak berpenghuni.

Ia teringat masa kecil. Saat Lebaran berarti tawa, pelukan, rebutan kue, dan cerita hingga larut malam. Kini semua sibuk dengan hidup masing-masing. Silaturahmi jadi wacana, bukan lagi kebiasaan.

Sore hari, seorang tetangga datang membawa opor ayam. Marwan menyambutnya dengan hangat.

“Mas Marwan nggak mudik ke rumah adik-adik?” tanya si tetangga, polos.

Marwan tertawa pelan. “Saya yang ditinggal mudik, Bu.”

Saat malam turun, Marwan duduk di teras. Ia menatap jalanan yang sepi. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu gantung tua, yang dulu dipasang ayahnya.

Ponselnya berdering. Video call. Tiga wajah muncul bersamaan di layar: Yuni, Arika, dan Firdaus.

Yuni tersenyum kaku. “Mas… maaf, ya. Aku tahu ini bukan pertama kalinya kita nggak pulang. Tapi bukan berarti kita lupa.”

Arika cepat menyambung. “Tadi aku bikin opor, Mas. Tapi rasanya beda. Gak ada yang marah-marah karena gosong kayak Mas dulu.”

Firdaus ikut tertawa, meski matanya berkaca-kaca. “Mas… aku kangen duduk di teras itu. Main petasan, rebutan kue kacang, terus denger Mas cerita soal Bapak…”

Marwan menarik napas panjang. “Aku juga kangen kalian. Tapi lebih dari itu… aku kangen rumah ini penuh lagi. Kangen suara kalian. Kangen ribut-ributnya.”

Mereka terdiam sejenak.

Yuni bicara pelan. “Mas… tahun depan, kita usahakan pulang bareng, ya. Gak ada alasan lagi. Rumah ini… ya tempat kita kembali.”

Arika mengangguk. “Kita bahkan bisa nginep dua hari. Bikin acara kecil. Undang tetangga. Kayak dulu Bapak dan Ibu.”

Firdaus menambahkan. “Aku janji, Mas. Lebaran depan aku yang datang duluan. Bantu bersihin halaman. Nyapu musala. Biar Mas nggak sendiri.”

Air mata Marwan jatuh pelan. Ia menyeka cepat, lalu tersenyum.

“Ya sudah. Jangan cuma janji. Kalau perlu, aku jemput satu-satu.”

Tawa kecil terdengar dari layar. Hangat. Meski terpisah layar, ruang tamu itu terasa ramai sejenak.

Malam itu, di antara sepi dan cahaya lampu tua, Marwan sadar: kehangatan tak selalu hadir secara fisik. Tapi ia harus terus dihidupkan—dengan rindu, janji, dan harapan. Bahwa rumah ini tak akan benar-benar ditinggalkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *